Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Geliat Pembuat Alat Musik di Solo

Menengok Proses Pembuatan Gong di Desa Wirun yang Masih Manual Tanpa Alat Modern

Sekitar 5 kilometer dari timur Kota Solo terdapat sebuah desa yang dikenal sebagai sentra perajin gong dan gamelan.

Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Sri Juliati
TRIBUNSOLO/FACHRI SAKTI NUGROHO
Proses pembuatan gong di rumah Ari Istuti (38), Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Kamis (26/7/2018). 

TRIBUNSOLO.COM - Sekitar 5 kilometer dari timur Kota Solo terdapat sebuah desa yang dikenal sebagai sentra perajin gong dan gamelan.

Desa tersebut bernama Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.

Sejak puluhan tahun lalu, para pengrajin di Desa Wirun sudah menggeluti usaha pembuatan gamelan.

Beberapa pengrajin bahkan mengaku telah menjadi generasi kedua dalam menjalankan usaha pembuatan alat musik tradisional tersebut.

Satu di antaranya adalah Ari Istuti (38).

Ia kini menjadi penerus usaha pembuatan gong yang dahulu dirintis oleh ayahnya, Samsiyo yang juga mantan Lurah Desa Wirun.

Saat mengunjungi kediamannya, Tribun mendapat kesempatan untuk menengok proses pembuatan gong yang setiap hari diproduksi oleh 12 perajin ini.

Ruangan penempaan gong sengaja didesain dalam ruang gelap.

Tujuannya agar para perajin dapat menyaksikan secara jelas tingkat kematangan bahan baku gong serta ketipisan gong yang ditempa.

Proses pertama pembuatan gong dimulai dari peleburan tembaga dan timah.

"Dua bahan tersebut dipanaskan bersama sekitar satu jam," ujar Ari, Kamis (26/7/2018).

Dua bahan baku tersebut didapatkan Ari dari luar Solo maupun Sukoharjo.

"Kalau tembaga dari Boyolali, sedangkan timahnya dari Tegal dan Jakarta," katanya.

Dalam proses peleburan, tak semua pekerja bisa mengamati tingkat kematangan cairan campuran tembaga dan timah.

"Dalam proses peleburan, yang tahu hanya orang-orang ahli. Di perapian cuma satu atau dua orang yang paham," ujarnya.

Setelah peleburan selesai, cairan campuran tembaga dan timah akan dibentuk menjadi lempengan.

"Lempengan tersebut akan ditempa, dipanasi, dipukuli berkali-kali hingga berbentuk seperti gong yang diinginkan," ungkap Ari.

Selanjutnya adalah proses finishing untuk memperhalus tekstur permukaan dan menyetel suara gong.

Pengaturan nada gamelan ini dilakukan secara manual sesuai insting pengrajin.

"Kami tidak sembarangan membentuk sebuah gong, karena bentuk dan ketebalannya menentukan jenis atau karakter suara gong," kata Ari.

Semua proses pembuatan gong dilakukan secara manual alias menggunakan tangan manusia, tanpa bantuan alat modern.

Tujuannya, menciptakan sebuah mahakarya gong yang memiliki suara jernih dan indah.

Dalam sehari, Ari dapat memproduksi satu buah gong.

Satu buah gong berdiameter 80 centimeter dijual Ari seharga Rp 10 juta.

Sementara untuk satu set lengkap gamelan perunggu dibanderol Rp 350 juta.

Mayoritas pembeli gong Ibu Ari berasal dari Pulau Bali.

(Tribun/Fachri Sakti Nugroho)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved