Pilpres 2019
Fahri Hamzah: Belum Ada Perdebatan Publik yang Substansial dan Paradigmatik dari Para Capres
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah angkat bicara terkait kondisi perpolitikan saat ini.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNSOLO.COM - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah angkat bicara terkait kondisi perpolitikan saat ini.
Fahri mengkritik para politisi dan tim sukses yang akan berlaga di Pilpres 2019.
• Prabowo Sebut Air Laut Banjiri Bundaran HI pada 2025, Anies: Saya Enggak Komentar soal Ramalan
Diketahui, Fahri saat ini tidak tergabung dalam kubu manapun di Pilpres 2019.
Ia juga tidak lagi tergabung di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada Pilpres tahun depan berkoalisi bersama pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini juga tak ikut dalam pemilihan legislatif pada 2019 nanti.
Meski demikian, sikap kritis Fahri yang terkadang dianggap 'nyinyir' oleh sebagian orang ini tak terhentikan.
Di Twitternya, ia masih kerap menyuarakan hal-hal yang membuatnya gelisah.
• Fahri Hamzah: Sekarang Manusia Itu Buas, Hukum Dipakai Balas Dendam dan Naikkan Karier
Seperti pada hari ini, Kamis (22/11/2018), ia mengkritisi para capres dan tim sukses yang hanya saling berbalas sindiran.
Di sisi lain, mereka lupa membahas soal kesejahteraan.
"Sepanjang masa kampanye ini, belum ada perdebatan publik yang substansial dan paradigmatik yang disajikan oleh capres maupun tim sukses."
"Isu dan dan permasalahan bangsa yang muncul tidak digali secara mendalam dan dicari akar permasalahannya," kicau Fahri Hamzah.
"Malah isu masih didominasi oleh manuver sindir menyindir dan Yang ada hanya jawaban2 singkat dan normatif."
"Tidak terlihat adanya dialektika mazhab berpikir dari kedua calon dan tim sukses dalam mencari bentuk solusi di masa depan."
"Pada saat yang bersamaan sebenarnya banyak isu krusial yang harusnya menjadi tema perdebatan publik."
"Terutama isu kesejahteraan. Isu yang seharusnya bersentuhan langsung dengan rakyat sebagai pemilik suara yang diperebutkan kedua calon."
Fahri merasa permasalahan-permasalahan soal kesejahteraan telah terlewat begitu saja tanpa ada tawaran solusi yang sistemik.
Begitupun narasi visi dan misi para capres yang menurut Fahri Hamzah sulit diterjemahkan.
Sebelumnya, pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk memandang, rangkaian sindiran yang dilontarkan kubu calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bukti rendahnya wacana adu program.
"Ini menurut saya terjadi di tengah miskinnya wacana adu program sebenarnya. Karena yang namanya kampanye politik emang adu wacana, secara prinsip. Tapi publik harus dipenuhi wacana yang baik," kata Hamdi kepada sebagaimana dikutip TribunSolo.com dari Kompas.com, Rabu (14/11/2018).
Hamdi menjelaskan, dalam proses legimitasi dan delegitimasi kontestan politik seharusnya berbasis pada gagasan, program, dan ideologi.
• Ada Temuan Dugaan Pelibatan Anak dalam Kampanye Pilpres,Tim Jokowi Akan Datangi KPAI
Menurut dia, sudah sepatutnya kontestasi Pilpres di Indonesia dibawa ke arah yang lebih baik lagi.
"Harusnya yang elegan itu usaha political legitimation dan delegitimation itu berbasis gagasan program, atau ideologi, platform, gitu loh. Kalau negara maju kan orang bicara ideologi dan platform. Di kita itu enggak ada. ini penyakit demokrasi kita," kata Hamdi.
Para kandidat dan tim pemenangan dinilainya menjadi lebih mudah terpancing dengan sindiran.
Sehingga mereka mengesampingkan politik adu gagasan dan program.
Hamdi mencontohkan, pernyataan Jokowi soal politisi sontoloyo dan politik genderuwo muncul akibat serangan dari kubu Prabowo-Sandiaga.
Kubu pesaing, kata dia, seringkali melontarkan sejumlah kalimat yang menakut-nakuti bahkan tak berbasis data dan argumentasi yang kuat.
"Ini akhirnya disinyalir oleh Jokowi, wah cara begini nih jauh dari kesantunan dan keadaban, ini politisi sontoloyo ini, kan gitu. Ada aksi reaksi. Karena Jokowi kan capek juga terus-terusan jadi korban dengan cara yang tidak beradab itu," kata Hamdi.
"Terus nyerang lagi, keluar lagi kalau politik yang isinya nakut-nakutin, Indonesia bubar, 99 persen semua orang susah, negara krisis, semua kekayaan keluar, asing sudah masuk, keamanan tidak terjamin, dia (Jokowi) pancing lagi metafor Genderuwo," kata Hamdi.
• Jelang Pilpres 2019, Masyarakat Harus Cerdas Memilih Berita, Terutama dari Facebook
Jika situasi ini dibiarkan, kata Hamdi, akan semakin mempertajam potensi konflik di masyarakat.
Di sisi lain, Hamdi juga mengkritik kubu pesaing yang tak menawarkan gagasan dan program alternatif yang kuat.
Menurut dia, kubu pesaing seharusnya bisa mencari celah kelemahan lawan dan menawarkan gagasan berbasis argumentasi dan data yang kuat.
Hal itu untuk menghadirkan perlawanan yang sehat kepada petahana yang mengandalkan pencapaian kerja.
"Dikritik langkah yang dilakukan petahana, diperlihatkan di mana bolongnya, dan dicarikan alternatif dan solusi yang betul-betul masuk akal, akurat dengan argumentasi yang kuat. Nah, tampaknya ini yang gagal," kata dia.
"Datanglah dengan gagasan yang menyentak, fresh original dan menawarkan alternatif dan mengguncang, gitu kan. Kalau gagal di situ, ya repot. Petahana malah bisa melenggang," lanjutnya.
(*)