Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Yunarto Wijaya Ingatkan Para Politisi: Jangan Beri Halusinasi dan Imajinasi yang Salah kepada Jokowi

Jokowi bagaikan madu. Kawan maupun lawan mendekati Jokowi selaku presiden terpilih yang memiliki hak prerogatif untuk memilih menteri di kabinetnya.

Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Fachri Sakti Nugroho
ISTIMEWA
Kolase Jokowi dan Yunarto 

TRIBUNSOLO.COM - Pengamat politik Yunarto Wijaya mengomentari soal wacana rekonsiliasi yang kini berdengung di ruang publik.

Presiden Joko Widodo bagaikan madu yang dirubung banyak semut.

Kawan maupun lawan, semua mendekati Jokowi selaku presiden terpilih yang memiliki hak prerogatif untuk memilih menteri di kabinetnya mendatang.

Partai-partai yang mengusung Jokowi (koalisi) di Pilpres lalu seakan merasa terusik dengan datangnya rombongan partai pendukung Prabowo Subianto (oposisi) yang membuka diri untuk bergabung bersama di barisan Jokowi.

Gus Solah Dorong Rekonsiliasi, Juga Minta Prabowo-Sandi Tetap Jadi Oposisi yang Loyal

Kubu koalisi memiliki misi sendiri untuk mengantarkan kader terbaik mereka, sebanyak-banyaknya, membantu Jokowi di pemerintahan.

Dengan datangnya rombongan oposisi, tentu saja mereka khawatir jatah kursi yang tersedia jadi berkurang.

Oposisi juga dituding lancang, karena tidak berkeringat memenangkan Jokowi namun saat Jokowi menang mereka seenaknya merapat ke barisan.

Dikemas dalam kata rekonsiliasi, percaturan politik dalam memperebutkan kursi-kursi strategis di pemerintahan ini menyeruak dan menggelisahkan publik.

Apakah sebercanda itu mengurus sebuah negara?

Setelah kampanye yang ugal-ugalan dan memuat masyarakat terdikotomi, luka masyarakat belumlah kering.

Darah dan nanah masih meradang, kini harus ditambah taburan garam dari drama politik yang pragmatis.

Jokowi-Prabowo Tak Kunjung Rekonsiliasi, Sandiaga Uno Beberkan Apa yang Disiapkan Prabowo Saat Ini

Menanggapi kondisi politik terkini, Yunarto yang diundang sebagai pembicara di Mata Najwa, Rabu (3/7/2019) menyampaikan pandangannya.

Menurut Yunarto, para politisi dari koalisi dan oposisi kini tengah membuat hipotesa-hipotesa berharap hipotesa mereka diterima oleh Jokowi.

Hipotesa pertama adalah 'koalisi yang besar akan memunculkan stabilitas politik'.

Hipotesa pertama ini dipatahkan oleh Yunarto.

"Dalam setiap pembentukan koalisi bahasa panggung depannya adalah check and balance," kata Yunarto membuka pembahasannya.

"Bahasa panggung belakangnya sebenarnya apakah keputusan Jokowi akan menguntungkan partai kami atau tidak."

"Panggung belakangnya ini masalah porsi kue kekuasaan yang harus didapatkan dengan angka yang dianggap menguntungkan."

"Semua membuat hipotesa berharap hipotesanya diterima oleh nalar seorang Jokowi."

"Yang menarik adalah hipotesa-hipotesa yang tadi sudah disebutkan sebetulnya terbantahkan kalau kita berkaca pada pengalaman empiris, misalnya di pemerintahan SBY jilid 2, itu terbantahkan semua," imbuh Yunarto.

Rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo, Sandiaga Sebut Komunikasi Lewat Satu Pintu

Yunarto menyebut, membuat koalisi yang besar tidak mesti membuat jalannya pemerintahan yang kondusif dan stabil.

"Banyak aktor itu terbantahkan semua, kalau koalisi lebih besar stabilitas politik tercipta? Tidak," ungkap Yunarto.

"Ketika SBY jilid 2 membentuk Setgab, pertama kali koalisi itu diinstitusionalkan ternyata terjadi kegaduhan yang tidak terjadi pada SBY jilid 1," imbuhnya.

Hipotesa yang kedua adalah 'membayar utang politik' kepada partai pengusung.

Namun hipotesa ini juga dipatahkan oleh Yunarto, yang mana partai pengusung bisa saja berbeda pendapat dengan penguasa di tengah jalannya pemerintahan.

"Teman-teman pendukung menganggap solidkan utang budi politik ini pada yang 'berkeringat'," kata Yunarto.

"Yang terjadi pada pemerintahan SBY jilid 2 sama, kita ingat tahun 2010 Sri Mulyani keluar kabinet, Abu Rizal Bakrie dijadikan ketua harian Setgab yang terjadi setelah itu, dalam angket mafia pajak Century, Golkar jadi partai paling bandel."

Yunarto mengingatkan kepada para politisi agar tidak menawarkan halusinasi kepada Jokowi.

Ia juga meminta kepada politisi agar serius dalam memilih kadernya yang berkualitas untuk diajukan sebagai pembantu Jokowi di kabinet yang akan bekerja lima tahun ke depan.

Mahfud MD Patahkan Teori Sarjana Italia yang Disampaikan Sujiwo Tejo: Kalau Jawaban Itu Singkat Saja

"Yang ingin saya katakan adalah jangan berikan halusinasi dan imajinasi yang salah kepada Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif," kata Yunarto.

"Poinnya adalah Anda harus bicara kualitas. Sodorkan nama-nama yang Anda ingin ajukan sekarang. Sodorkan agenda prioritas apa yang ingin Anda dorong dalam pemerintahan Jokowi," pungkasnya.

Simak penjelasan lengkap Yunarto di video di bawah ini.

 7 Politisi Berkumpul Blak-blakan Bahas Rekonsiliasi

Tujuh politisi dari tujuh partai politik di Indonesia blak-blakan soal 'perlu atau tidak' dan 'mau atau tidak' oposisi menjadi koalisi.

Tiga dari tujuh politisi tersebut berasal dari partai koalisi pendukung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Mereka adalah, Johny G Plate dari Partai Nasdem, Deddy Sitorus dari PDIP dan Lukman Edy dari PKB.

Soal Revisi UU Ketenagakerjaan, Menteri Ketenagakerjaan RI: Perlu Win-win Solution

Sementara empat sisanya adalah politisi dari partai pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang selama ini dikenal sebagai oposisi.

Mereka adalah Arief Poyuono dari Gerindra, Aboe Bakar Al-Habsyi dari PKS, Edy Soeparno dari PAN dan Jansen Sitindaon dari Partai Demokrat.

Mereka bertujuh berkumpul bersama di acara Mata Najwa, Rabu (3/7/2019) untuk mengobrolkan perihal rekonsiliasi yang dimaknai oleh publik sebagai transaksi kursi menteri di pemerintahan presiden terpilih.

Dari kubu koalisi ditanya oleh Najwa perihal perlu tidaknya kubu oposisi merapat ke kubu koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin.

Sementara kubu oposisi mendapat pertanyaan tentang 'mau atau tidak' bergabung ke koalisi.

Saat ditanya oleh Najwa secara berurutan, Johny G Plate mengaku pihak oposisi tidak perlu bergabung menjadi koalisi.

"Tidak perlu, ini bukan politisi lagi karena blak-blakan," kata Johny G Plate.

Sementara, politisi PKB, Lukman Edy menilai kerjasama dibutuhkan di parlemen dan MPR.

Sedangkan di pemerintahan eksekutif oposisi tidak perlu menyeberang ke koalisi.

"Kalau di parlemen perlu, di MPR perlu, di pemerintahan tidak perlu," ujar Lukman Edy.

Politikus Nasdem Sebut akan Usulkan 11 Nama Menteri ke Presiden Jokowi

Saat ditanya apakah pantas oposisi menyeberang, Lukman Edy menilai sah-sah saja selama oposisi memiliki kapasitas untuk membantu pemerintah.

"Dan pantas saja. Kalau untuk pemerintahan, mereka punya kader-kader yang baik nggak, untuk membantu Pak Jokowi-Ma'ruf, kalau punya ya menjadi pantas."

Soal rela atau tidak, Lukman Edy rela saja selama tidak mengurangi jatah kursi yang diajukan partainya.

"Asal tidak mengurangi kursi PKB rela-rela saja," ungkapnya.

Sementara itu, dari kubu oposisi, Arief Poyuono mengaku pihaknya tidak menutup diri untuk bergabung ke koalisi.

"Kami tidak menutup kemungkinan untuk berkoalisi," ujar Arief.

Terkait malu atau tidak bergabung dengan koalisi, Arief mengaku tidak harus malu untuk kepentingan bangsa dan negara.

"Kalau untuk bangsa dan negara buat apa malu," imbuhnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Edy Suparno dan Jansen Sitindaon.

Edy Soeparno merasa perlu untuk membantu pemerintah dalam menghadapi tantangan yang akan dilalui Indonesia di masa depan.

Terutama tantangan di bidang ekonomi.

"Di eksekutif, saya lihat ke depannya beban bangsa ini ke depan cukup berat terutama di sektor ekonomi," kata Edy Soeparno.

"Jadi kalau memang ada keperluan untuk meringankan beban dengan melibatkan teman-teman yang lain, rasanya bukan hal yang mustahil."

"Tapi jangan sekedar jadi pelengkap," imbuhnya.

Jansen Sitindaon pun melontarkan argumentasi yang kurang lebih memiliki makna yang sama.

Jansen menyebut selama Jokowi cocok dan nyaman dengan Demorat, maka kemungkinan untuk bekerja sama sangat tinggi.

"Sepanjang Pak Jokowi butuh Demokrat dan nyaman dengan Demokrat dan kita juga nyaman dengan Pak Jokowi, sepanjang itu terpenuhi tentu kita siap membantu Pak Jokowi," ujar Jansen.

Yang tegas mengatakan tidak akan bergabung di pemerintahan Jokowi adalah Aboe Bakar Al-Habsyi.

Aboe Bakar Al-Habsyi mengaku pihaknya akan menjadi kubu penyeimbang dan mengontrol penguasa.

Putri Hary Tanoe Bertemu Jokowi, Sekjen Perindo: Tanda Positif Dipinang untuk Posisi Menteri

"Tidak mau. Kita kasih kesempatan beliau berkuasa, kita kontrol dari sebelah," ujar Aboe Bakar Al-Habsyi.

"Kita jadi penyeimbang, sepeda itu berjalan kalau pedal kiri dan pedal kanan saling bergerak, kalau kirinya bergerak harus dikontrol dengan kanan, kalo enggak, enggak jalan itu sepeda."

"Demokrasi engagak jalan, jatuh negara," pungkasnya.

Simak video lengkap pernyataan ketujuh politisi tersebut di bawah ini.

(*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved