Pilkada Solo 2020
Ganjar Pranowo Tanggapi Usulan Mendagri Tito Karnavian soal Evaluasi Pilkada Langsung
Ganjar Pranowo menanggapi soal usulan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, soal evaluasi Pilkada langsung yang dianggap telan biaya tinggi
Penulis: Ryantono Puji Santoso | Editor: Noorchasanah Anastasia Wulandari
"Itu (mengubah pilkada langsung menjadi tidak langsung) perlu dikaji secara mendalam. Tapi prinsipnya regulasi dan tata laksana pilkada memang harus dievaluasi," ujar Wahyu ketika dikonfirmasi Jumat (8/11/2019), seperti dikutip TribunSolo.com dari Kompas.com.
• Pinang Paundra di Pilkada Solo 2020, DPC Gerindra Segera Usulkan ke Prabowo Subianto
Wahyu berpendapat, evaluasi tersebut nantinya diharapkan bertujuan memperbaiki aturan dan teknis pelaksanaan pemilu.
Dia menyebutkan bahwa anggaran, teknis pelaksanaan, hingga penegakan hukum merupakan beberapa poin yang bisa dievaluasi.
"Dari sisi biaya memungkinkan untuk dilakukan efisiensi, lalu dari sisi tata laksana dapat disederhanakan. Kemudian penegakan hukum bagi pelaku politik uang, politisasi SARA, dan penyebar hoaks," ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, dia sepakat jika nantinya pemerintah dan DPR mengajak KPU untuk melakukan evaluasi pilkada secara bersama.
"Tentu KPU akan terlibat aktif dalam kegiatan evaluasi pilkada. KPU juga akan memberikan sumbang pemikiran dan bentuk rekomendasi kebijakan," tuturnya.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.
Hal itu dikatakan Tito saat ditanya persiapan Pilkada oleh wartawan, usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (6/11/2019) lalu.
• Soal Polemik Mantan Napi Tak Boleh Jadi Kepala Daerah, Tito Karnavian: Berarti Kembali ke Teori Kuno
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito sebagaimana dikutip dari Tribunnews.
Sebagai mantan Kapolri, ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon, karena sistem pilkada langsung.
"Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," kata dia.
Tito berpandangan bahwa mudarat pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan.
Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari pilkada langsung. (*)