Solo KLB Corona
Sebut Pilkada saat Pandemi Tak Masuk Akal, FX Rudy : Mohon Maaf, yang Mantau Bisa Terpapar Covid
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo menyebut Pilkada yang dihelat ditengah pandemi Corona tidak wajar dan tidak masuk akal.
Penulis: Adi Surya Samodra | Editor: Ilham Oktafian
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo angkat bicara terkait Pilkada Serentak yang sedianya dihelat 9 Desember 2020.
Menurutnya, waktu pelaksanaan yang dihelat ditengah pandemi Corona tidak wajar dan tidak masuk akal.
"Pilkada dalam situasi ini, sudah saya sampaikan dalam situasi dan kondisi pandemi Covid19, menurut saya tidak wajar," kata Rudy, Minggu (7/6/2020).
"Karena yang namanya pesta demokrasi ini kan bergembira, ini kan pesta, harus bergembira tidak boleh sedih, tidak boleh takut, tidak boleh ada intimidasi dan sebagainya," jelasnya.
• Pilkada 2020 di Tengah Corona, Rapat Akbar Diminta Ditiadakan, Begini Gambarannya Menurut Pengamat
Masyarakat juga akan berpikir dua kali untuk menggunakan hak suaranya mengingat pandemi Corona belum usai.
Terlebih, keselamatan para petugas yang terlibat dalam Pemilu Serentak, dikatakan Rudy akan terancam mengingat mereka akan bertugas ditengah kerumunan.
"Dengan kondisi seperti ini mohon maaf tidak ada pemantau yang mau mantau, siapa yang mau mantau, mantau malah terpapar Covid-19 malah jadi korban," tugur Rudy.
• Pilkada Solo Diundur Desember 2020, Jumlah TPS Ditambah Jadi 1.800 Titik di Tengah Pandemi Corona
Selain itu, jika dipaksakan akan berpotensi menjadi bentuk kegagalan pelaksanaan Pilkada Serentak lantaran jumlah tak sesuai target Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Adapun KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2020 mencapai 77,5 persen.
"Ini bentuk kegagalan pemilu karena dipaksakan, pemilihnya tidak akan sesuai dengan target KPU," pungkasnya.
• Pilkada Solo 2020 di Tengah Pandemi Corona, Anggaran Membengkak Rp 10,1 Miliar, Ini Rincian dari KPU
Rudy menambahkan, nuansa politik uang akan semakin kental untuk menggaet masyarakat agar datang menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS).
"Artinya besok pun yang mau suruh datang ke TPS kalau tidak ada amplopnya sok tidak mau juga," papar Rudy. (*)