Tetangga Bersengketa Tanah
Damai, Dua Warga Sragen yang Berselisih Tanah Selebar 33 CM Mau Tanda Tangani Surat Pernyataan
"Surat pernyataan pun ditandatangani mereka, BPN, dan saya selaku lurah desa," katanya kepada Tribunsolo.com, Senin (23/11/2020).
Penulis: Rahmat Jiwandono | Editor: Ryantono Puji Santoso
Suparmi yang kekeuh dengan sisa luas tanah yang ia miliki, lalu membangun sebuah tembok sekira di tahun 2000an awal.
Masalahnya, tembok yang dia bangun melewati ukuran yang digariskan oleh kelurahan.
"Saya yakin karena saya hafal dan ingat luas tanah saya sebelum saya jual," tegasnya.
Ia pun memprotes ketidakadilan itu pada kelurahan sejak tahun 2016.
Ia bahkan meminta pihak kelurahan melakukan pengukuran tanah ulang.
"Saya membayar Rp 400 ribu tapi hasilnya sama, saya masih tidak terima karena saya yakin itu ada sisa lebar 33 cm," terangnya.
Beberapa perundingan pun dilakukan oleh kedua belah pihak pada tahun 2016 tersebut.
"Dulu ada perjanjian dengan kepala desa juga, tapi hasilnya tetap nihil, sisa tanah saya tidak kembali," pungkasnya.
Lantaran tak terima, ia pun membawa ke ranah Dinas Agraria Kabupaten Sragen.
Tak hanya itu, ia pun membawa pengacara agar sengka tersebut lekas menemui titik temu.
Hubungan dua tetangga ini pun memburuk.
Dari semula kehidupan bertetangga yang normal dan baik-baik saja, menjadi tak saling bertegur sapa.
Bahkan, pada akhir 2018, Suprapto, tetangga sebelah Suparmi, dilaporkan merusak tembok pembatas rumah yang dibangun Suparmi di sisa tanah selebar 33 cm itu.
"Dilakukan dua kali, pertama yang depan akhir 2018, kedua yang bulan Maret tahun ini," aku Suparmi.
Suparmi pun tak terima dengan kejadian tersebut lalu melaporkan ke pihak Polsek Sragen pada 19 Mei 2020.
"Katanya saat ini sudah naik ke Polres Sragen dan mau dibawa ke ranah pengadilan," ungkapnya.
Dalam surat yang tertera, Suprapto dikenakan pasal 406 KUHP dengan pasar pengrusakan.
Dikonfirmasi terpisah, Lurah Wonokerso, Suparno, membenarkan ada peristiwa ini di daerahnya.
Ia mengaku sudah mendamaikan, tapi tetap buntu hasilnya.
Ia juga menyesalkan warganya yang ngotot menempuh jalur hukum.
"Sebenarnya saya sudah jengah, sebagai lurah tentu saya ada keinginan untuk mendamaikan, karena mereka berselisih sejak lama,"
"Tapi Ibu Parmi tidak mau memilih jalur kekeluargaan," sesalnya.
"Akhirnya ya saya biarkan, biar diproses Kepolisian saja," ujar Suparno. (*)