Jokowi Berpotensi Terseret Dualisme Demokrat, Kini Muncul Desakan Pencopotan Moeldoko sebagai KSP
Relawan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Moeldoko dari posisi Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
TRIBUNSOLO.COM -- Dualisme Partai Demokrat turut menarik perhatian Dewan Pimpinan Nasional Komunitas Banteng Asli Nusantara (DPN KOMBATAN).
Relawan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Moeldoko dari posisi Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Bukan tanpa alasan, relawan menilai Jokowi bisa terseret kasus tersebut.
Baca juga: Pemerintah Bakal Mengesahkan Moeldoko sebagai Ketum Demokrat? Jawaban Mahfud MD: Tergantung
Baca juga: Soal KLB Demokrat Tandingan, Herzaky Mahendra Sebut Bukan Masalah Internal Partai Saja
Permintaan tersebut menyusul kisruh yang terjadi di Partai Demokrat setelah Kongres Luar Biasa (KLB) Deliserdang menetapkan Moeldoko menjadi Ketua Umum menggantikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Ketua Umum KOMBATAN Budi Mulyawan menyebut Pemerintahan Presiden Jokowi berpotensi terseret persoalan Partai Demokrat secara menyeluruh.
Hal itu dikarenakan Moeldoko masih mengemban jabatan KSP.
"Pada akhirnya kisruh ini berpotensi menyeret pemerintahan Jokowi secara keseluruhan, yang intinya Pemerintahan Jokowi akan terseret-seret masalah yang sebenarnya bukan "Perang mereka," ucap Budi Mulyawan dalam keterangannya, Minggu (7/3/2021).
"Karena jabatan Moeldoko sebagai Kepala KSP melekat dengan dirinya saat ini," imbuh Budi Mulyawan.
Budi mengatakan, bila pemerintahan terseret-seret kisruh Partai Demokrat, tidak menutup kemungkinan ritme kerja akan sangat terganggu.
"Hal itu sudah hampir dapat dipastikan bakal mengganggu kinerja dan ritme Pemerintah dalam mengatasi masalah krusial yang sedang dihadapi saat ini," ujar Budi.
Atas dasar itu KOMBATAN meminta Presiden Jokowi segera mencopot Moeldoko dari posisi Kepala Staf Kepresidenan.
"Dalam rangka memastikan terwujudnya Visi dan Misi Presiden Jokowi, meminta atau merekomendasi kepada Presiden Jokowi untuk Mencopot Jabatan Kepala KSP yang diemban oleh Moeldoko," tegas Budi Mulyawan.
Alasan lain Moeldoko harus dicopot yakni sepak terjang politiknya yang dinilai telah menyimpang jauh dari visi dan misi presiden.
Aksi Moeldoko mengkudeta AHY dari Partai Demokrat, lanjut Budi Mulyawan, telah merong-rong kewibawaan Presiden Jokowi.
"Kewibawaan Presiden Jokowi sedang dirong-rong. Moeldoko secara sistematis dan masif sedang membangun kekuatan politik pribadinya dalam agenda 2024 dengan memanfaatkan segenap kewenangan yang dimiliki sebagai Kepala KSP," kata dia.
Konflik Dualisme Demokrat Moeldoko vs AHY, Pengamat Ingatkan Pemilih Pilpres 2024 Bisa Hilang
Konflik dualisme di tubuh Partai Demokrat bisa mempengaruhi perolehan suara partai dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Terlebih, karakter basis masa partai berlambang Mercy tersebut berbeda dengan partai lain.
Pengamat Hukum Tata Negara UNS Solo, Agus Riewanto mengatakan, basis pendukung Partai Demokrat itu masa yang mengambang.
Baca juga: Pengamat Sarankan Pemerintah Tak Ikut Campur Konflik Dualisme Partai Demokrat, Kenapa?
Baca juga: Dualisme Partai Demokrat, DPC Demokrat Karanganyar: KLB di Deli Serdang Abal-abal
"Dia bukan partai kader, masanya masa mengambang," kata Agus kepada TribunSolo.com, Sabtu (6/3/2021).
Bisa saja, Demokrat kehilangan basis pendukungnya di Pilpres 2024 bila konflik ini tak segera selesai.
"Bagaimana tokoh-tokoh Demokrat bisa meredam. Bisa mencari solusi alternatif," tutur Agus.
Apabila Demokrat kemudian berakhir pecah, Agus menilai tidak menguntungkan, baik bagi kubu Moeldoko maupun Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Baca juga: Suara Keras Bos Partai Demokrat Klaten ke KLB Sibolangit, Sebut Moeldoko Direkayasa Tangan Siluman
Bahkan, Demokrat bisa saja di ambang kehancuran.
"Baik Demokrat versi AHY maupun Moeldoko, dua-duanya tidak akan besar," ucap Agus.
"Itu di mata publik tidak bagus. Konflik partai bisa membuat konstituen Demokrat lari," tambahnya.
Pemerintah Diminta Tak Ikut Campur
Pemerintah sebaiknya tidak ikut campur tangan dalam kubangan konflik internal Partai Demokrat.
Seperti diketahui, partai berlambang Mercy tersebut kini diterpa isu dualisme partai seusai hasil KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara keluar.
Sosok Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko keluar sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam KLB itu.
Baca juga: Suara Keras Bos Partai Demokrat Klaten ke KLB Sibolangit, Sebut Moeldoko Direkayasa Tangan Siluman
Baca juga: Pidato Moeldoko Usai Jadi Ketua Umum Partai Demokrat Versi KLB: KLB Ini Konstitusional
Pengamat Hukum Ketatanegaraan UNS Solo, Agus Riewanto mengingatkan pemerintah sebaiknya bersifat pasif dalam menyikapi masalah internal Demokrat.
Meski Moeldoko yang berada dalam lingkar istana ikut serta dalam pusaran konflik internal partai.
"Negara lebih baik menunggu laporan yang mempertanyakan mana yang lebih sah, KLB versi Moeldoko atau dipimpin AHY," kata Agus kepada TribunSolo.com, Sabtu (6/3/2021).
Terlebih, sebuah partai memiliki mekanisme penyelesaian masalahnya sendiri, termasuk Partai Demokrat.
Baca juga: Komentar Ketua DPC Demokrat Solo Soal KLB: Penunjukan Ketum Moeldoko Bentuk Penggembosan Partai
"Konflik partai tidak ada hubungan dengan pemerintah dan negara. Partai itu kan di luar pemerintah," ucap Agus.
Menurut Agus, apabila pemerintah ikut cawe-cawe dalam konflik internal Demokrat, rasa ketidakadilan itu begitu kentara.
"Pemerintah tidak adil, semua aspek diurusin. Proporsional saja. Kalau tidak ada laporan, pemerintah tidak boleh ngapa-ngapain," ujar dia.
"Apabila memihak salah satu bisa berbahaya dan memperkeruh konflik," tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul: Kisruh Demokrat Berpotensi Menyeret Pemerintahan Jokowi, KOMBATAN Minta Moeldoko Dicopot dari KSP