Berita Sragen Terbaru
Miris, Pupuk Bersubsidi Langka, Ada Oknum yang Menimbun Ratusan Sak Pupuk Bersubsidi di Sragen
Sebuah gudang yang dijadikan lokasi penimbunan pupuk bersubsidi, di grebek jajaran Polres Sragen, Rabu (10/3/2021).
Penulis: Rahmat Jiwandono | Editor: Agil Trisetiawan
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Rahmat Jiwandono
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Sebuah gudang yang dijadikan lokasi penimbunan pupuk bersubsidi, di grebek jajaran Polres Sragen, Rabu (10/3/2021).
Gudang ini terletak di Dukuh Belangan RT 01/RW 01, Desa Kaliwedi, Kecamatan Gondang, Sragen.
Dari hasil penggrebekan ditemukan 70 sak pupuk bersubsidi jenis phonska dan 50 sak pupuk bersubsidi jenis urea.
Pupuk-pupuk itu dijual dengan harga melebihi harga eceran tertinggi (HET).
Padahal petani di Sragen saat ini tengah kesulitan mencari pupuk bersubsidi.
Baca juga: Kuota Pupuk Bersubsidi Tak Mencukupi, Petani di Sragen Terpaksa Beralih ke Pupuk Non Subsidi
Baca juga: Cara Membuat Pupuk Cair Organik dari Nasi Basi, Jangan Dibuang Mulai Besok
Kapolres Sragen, AKBP Yuswanto Ardi melalui Kasatreskrim AKP Guruh Bagus Eddy Suryana menjelaskan, penggrebekan bermula dari laporan masyarakat sekitar bahwa ada pedagang yang menjual pupuk bersubsidi.
"Ternyata setelah kami telusuri, penjualnya tidak memiliki izin," tuturnya, Sabtu (13/2/2021).
Mengetahui itu, unit 2 Tipiter Sat Reskrim Polres Sragen mendatangi gudang penimbunan pupuk dan menangkap seorang tersangka.
"Kami tangkap pemilik gudang atas nama Tri Widodo (47) warga Belangan, Kaliwedi, Sragen," katanya.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 30 ayat 3 Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 15/M.DAG/PER/ 4/ 2013 tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian Jo Pasal 6 Ayat 1 huruf b UU Nonor 7 Tahun 1955 Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
“Tersangka terancam hukuman pidana dua tahun penjara dan denda Rp100 juta,” paparnya.

Beralih ke Pupuk Non Subsidi
Kuota pupuk bersubsidi di Kabupaten Sragen dianggap petani tak mencukupi.
Hal ini memaksa petani untuk membeli pupuk non subsidi, yang harganya jauh lebih mahal.
Petani asal Desa Karungan, Kecamatan Plupuh, Karno mengungkapkan, petani harus membeli pupuk non subsidi yakni urea pusri.
"Harga satu sak pupuk bisa mencapai Rp 270 ribu," katanya, Minggu (28/2/2021).
Harga pupuk tersebut dua kali lebih mahal dibandingkan pupuk subsidi urea ataupun phonska.
"Jumlah pupuk subsidi yang ada di pasaran saya rasa tidak mampu mencukupi kebutuhan petani."
"Sehingga mau enggak mau kami harus beli pupuk non subsidi," tuturnya.
Baca juga: Harga Gabah Kering di Sragen Anjlok, Petani Sebut Rugi Jutaan Rupiah
Baca juga: Harga Cabai Rawit di Sragen Makin Pedas, Kini Rp 90.000 Per Kg, Pembeli Menurun
Padahal untuk satu hektare sawah miliknya butuh delapan hingga sembilan kwintal pupuk.
"Untuk sawah saya saja paling enggak saya keluar uang Rp 2,5 juta untuk beli pupuk segitu," katanya.
Belum lagi upah untuk membayar tenaga ketika mau menanam padi lagi.
"Cari tenaga yang mau tanam di masa pandemi ini juga susah," ujarnya.
Harga Gabah Anjlok
Petani di Kabupaten Sragen mengeluhkan anjloknya harga gabah kering panen (GKP) pada bulan ini.
Menurut petani asal Desa Karungan, Kecamatan Plupuh, Sragen Karno, harga gabah per kilonya turun hingga 30 persen.
"Sekarang harga per kilonya Rp 4.000, padahal biasanya per kilo dihargai Rp 5.200 atau Rp 5.300," ujarnya,, Minggu (28/2/2021).
Menurut Karno, anjloknya harga GKP disebabkan ketakutan dari tengkulak beras untuk menjualnya lagi.
"Otomatis tengkulak juga mau membelinya di harga kisaran Rp 4.000," ujarnya.
Baca juga: Bocah Korban Kekerasan Seksual asal Sragen akan Dibawa ke Panti, Dinas: Tunggu Persetujuan Orangtua
Baca juga: Relawan Tingkat Desa di Sragen Turun Tangan, Kini Belajar Jadi Petugas Pemulasaran Jenazah Covid-19
Baca juga: Zonasi dalam PPKM Mikro Dikhawatirkan Bikin Stigmatisasi, Pemkab Sragen : Sudah Enggak Ada Itu
Kondisi ini memaksa para petani di Sragen yang sedang memasuki masa panen menjual GKP dengan harga murah.
"Ya terpaksa lagi kami jual," ucapnya.
"Karena untuk modal tanam padi lagi, walau jelas kami rugi," papar dia.
Karno menyebutkan, untuk satu hektare sawah bisa menghasilkan untung sekitar Rp 37 juta.
"Sekarang satu hektare dapat Rp 20 juta sudah berat untuk modal tanam lagi," jelasnya.
Sementara untuk lahan yang tidak mencapai satu hektare hanya memperoleh untung Rp 17 sampai Rp 19 juta.
"Keuntungan yang kami dapat turun sekitar 60 persen," tambahnya.
Harga Beras di Indonesia Lebih Mahal
Dilansir dari Kompas.com, harga beras dari Indonesia lebih mahal dibandingkan negara lainnya.
Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengungkapkan, biaya produksi beras Indonesia menjadi yang termahal di Asia, meski secara produksi lebih tinggi dari negara-negara produsen beras lainnya.
Tingginya biaya produksi pun membuat harga beras Indonesia menjadi lebih mahal dari negara-negara di Asia.
Arif menjelaskan, produktivitas beras Indonesia berkisar 5,13-5,24 ton per hektar, sedikit lebih rendah dari Vietnam yang mencapai 5,82 ton per hektar.
Namun, tetap lebih tinggi dari produktivitas beras Malaysia yang sebesar 4,08 ton per hektar, Filipina sebesar 3,97 ton per hektar, dan Thailand sebesar 3,09 ton per hektar.
"Tapi dari biaya produksi beras, Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain," ujar Arif dalam webinar yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (17/2/2021).
Baca juga: Viral Video Warga Desa Rame-rame Tarik Truk 8 Ton Masuk Jurang di Karanganyar, Ini Cerita Sebenarnya
Baca juga: Kesaksian Kadus Cetho Soal Kecelakaan Mengerikan di Jenawi: Sopir Sempat Melompat Keluar Truk
Dia mengatakan, berdasarkan perbandingan struktur biaya produksi beras di Asia, Indonesia menjadi yang tertinggi dibandingkan Filipina, China, India, Thailand, dan Vietnam.
Arif bilang, komponen termahal dari produksi beras domestik adalah biaya sewa lahan dan biaya tenaga kerja. Di samping pula, harga pupuk Indonesia yang hanya lebih murah dari India.
"Jadi memang agak ironis, ternyata faktor sumber daya manusia kita lebih mahal dibandingkan Thailand, Vietnam, India, Filipina, dan China," imbuhnya.
Sejalan dengan biaya produksi yang tinggi, harga beras produksi Indonesia menjadi lebih mahal dari negara lainnya, seperti Thailand dan Vietnam.
Pada 2019 rata-rata harga beras internasional Thailand sebesar Rp 5.898 per kilogram dan Vietnam sebesar Rp 5.090 per kilogram, jauh lebih rendah dari harga beras Indonesia yang sebesar Rp 11.355 per kilogram.
Menurut dia, persoalan tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia, khususnya pemerintah. Sebab, selain membuat harga beras mahal, biaya produksi yang tinggi turut membuat Indonesia tak berdaya saing dalam industri beras dan rawan akan impor.
"Jadi memang kita tahu bahwa biaya kita relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain, ini satu agenda yang harus kita segera atasi," pungkas Arif. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Penyebab Harga Beras Indonesia Lebih Mahal dari Negara Lain"