Ini Penjelasan Pemerintah Mengenai Alasan Vaksin Nusantara Bukan Termasuk Karya Anak Bangsa
Vaksin nusantara yang sempat dicanangkan oleh mantan menteri kesehatan ternyata produk Amerika Serikat
TRIBUNSOLO.COM - Vaksin Nusantara yang digembor-gemborkan merupakan karya anak bangsa, ternyata dibantah oleh Juru Bicara Pemerintah Untuk Penanganan Covid 19, Wiku Adisasmito.
Vaksin itu sendiri sebelumnya digagas oleh mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Wiku menjelaskan bahwa vaksin itu dikembangkan oleh Amerika Serikat dan di Indonesia hanya sekedar sebagai lahan uji coba.
"Vaksin Nusantara adalah jenis vaksin yang dikembangkan di Amerika dan diujicobakan di Indonesia," kata Wiku dalam jumpa pers daring di Istana Negara Jakarta, Kamis (15/4/2021).
Baca juga: BPOM Tak Beri Izin Uji Klinis Vaksin Nusantara, Epidemiolog: Seharusnya Tidak Dilanjutkan
Pernyataan Wiku itu sekaligus menjawab klaim sejumlah pihak, termasuk para anggota DPR RI, yang menyebut Vaksin Nusantara adalah karya anak bangsa.
Wiku menyampaikan setiap vaksin yang akan diberikan kepada masyarakat harus melewati kajian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Vaksin-vaksin itu harus mendapat izin terkait aspek keamanan, efikasi, dan kelayakan.
Dia menyampaikan pemerintah mendukung penuh upaya inovasi di bidang kesehatan. Namun, pemerintah hanya memberi dukungan jika inovasi memenuhi kriteria ilmiah.
"Inovasi di bidang kesehatan harus tetap mengikuti kaidah, etika, dan tahapan ilmiah sehingga inovasi yang dihasilkan memiliki manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Wiku menyarankan tim pengembang Vaksin Nusantara segera berkomunikasi dengan BPOM. Pemerintah kata Wiku, berharap polemik Vaksin Nusantara segera usai.
"Diharapkan tim pengembang Vaksin Nusantara dapat berkoordinasi dengan baik dengan Badan POM agar isu yang ada terkait vaksin ini dapat segera terselesaikan," ucap Wiku.
Sama seperti yang disampaikan Wiku, ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo menyatakan Vaksin Nusantara bukanlah hasil inovasi karya anak bangsa, melainkan hasil penelitian asing dan menggunakan bahan produksi yang juga diimpor dari luar negeri.
"(Vaksin Nusantara) bukan inovasi anak bangsa. Inovasinya berasal dari Amerika oleh peneliti Amerika dari perusahaan biotek komersil di Amerika," tulisnya dalam cuitan, Kamis (15/4/2021).
Ahmad menyayangkan tindakan tim pengembang Vaksin Nusantara yang tidak menceritakan keutuhan teknologi sel dendrintik yang digunakan untuk membuat vaksin nusantara.
Selain itu pelabelan 'Nusantara' pada vaksin ini menurut Ahmad tidak akurat.
Ahmad menilai lebih baik memprioritaskan penelitian vaksin merah putih lantaran keterbatasan dana yang digunakan untuk penelitian vaksin.
"Dana republik terbatas, maka prioritaskan pendanaan Vaksin Merah Putih," ujarnya.
Sebelumnya, Vaksin Nusantara memicu kontroversi di masyarakat setelah BPOM menghentikan penelitian vaksin itu karena ada sejumlah dokumen uji klinis fase I yang belum lengkap.
Di tengah kontroversi itu, anggota DPR RI justru ramai-ramai menyatakan dukungan.
Bahkan, sejumlah pimpinan parlemen ikut menjadi relawan vaksin ini.
Mereka berkukuh pemerintah dan BPOM harus mengizinkan penggunaan Vaksin Nusantara. Mereka beralasan vaksin ini merupakan produk dalam negeri.
Sementara BPOM sendiri menyebut semua komponen utama yang digunakan dalam pengembangan Vaksin Nusantara diimpor dari Amerika Serikat.
Komponen yang dimaksud berupa antigen, Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), medium pembuatan sel, dan alat-alat persiapan.
"Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini di impor dari USA," kata Kepala BPOM Penny K Lukito melalui keterangan tertulis, Rabu (14/4/2021).
BPOM menegaskan vaksin yang diprakarsai mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto itu membutuhkan waktu cukup lama jika ingin dibuat secara sepenuhnya di Indonesia alias tanpa impor komponen lagi.
Penny menjelaskan bahwa antigen SARS COV-2 Spike Protein yang dipakai dalam penelitian ini merupakan produksi Lake Pharma, California, USA. Kemudian GM-SCF juga diproduksi oleh Sanofi dari USA.
Pengembangan dan uji klinis vaksin Nusantara sendiri merupakan kerjasama antara PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal USA, Universitas Diponegoro, dan RSUP dr. Kariadi Semarang.
"Jika akan dilakukan transfer teknologi dan dibuat di Indonesia membutuhkan waktu yang lama mengingat sampai saat ini Industri Farmasi yang bekerjasama dengan AIVITA Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi," ujar Penny.
"Membutuhkan waktu 2-5 tahun untuk mengembangkan di Indonesia," imbuhnya.
Penny sekaligus menjelaskan bahwa proses pembuatan vaksin sel dendritik dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedica.
Meski staf di RS Kariadi diberikan pelatihan, tetapi pada pelaksanaannya dilakukan oleh dari AIVITA Biomedica.
Penny mengatakan bahwa dari hasil inspeksi, ada beberapa komponen tambahan dalam sediaan vaksin yang tidak diketahui isinya.
Tim dari RSUP dr Kariadi pun tidak memahami itu.
"Semua pertanyaan dijawab oleh peneliti dari AIVITA Biomedica, di mana dalam protokol tidak tercantum nama peneliti tersebut. Peneliti utama dr Djoko dari RSPAD Gatot Subroto dan dr Karyana dari Balitbangkes tidak dapat menjawab proses-proses yang berjalan karena tidak mengikuti jalannya penelitian," ungkap Penny.
Dengan temuan-temuan pada uji klinis fase I vaksin Nusantara itu, BPOM urung memberikan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II vaksin Nusantara.
BPOM meminta tim peneliti vaksin Nusantara untuk memperbaiki dan melengkapi dokumen Cara Pembuatan Obat yang Baik
BPOM Tak Beri Izin Uji Klinis Vaksin Nusantara, Epidemiolog: Seharusnya Tidak Dilanjutkan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak mengeluarkan izin untuk uji klinis fase dua Vaksin Nusantara.
"Seharusnya uji klinis fase dua Vaksin Nusantara tidak dilakukan karena tidak ada izin dari BPOM," ucap Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono, Rabu (14/4/2021).
Baca juga: Warga Indonesia Patut Bersyukur Soal Vaksin, Bandingkan Filipina, Baru Bisa Suntik 1 Juta Orang
Baca juga: Kelanjutan Program Vaksinasi Selama Ramadhan: Bisa Dilakukan Siang dan Malam Hari
Pandu mengatakan, metode vaksin Nusantara dengan sel dendrintik dilakukan dengan pengambilan darah.
Materi darah yakni sel darah putih dan sel dendrintik dipisahkan untuk digabungkan dengan antigen dan disimpan selama 7 hari.
"Lalu kemudian memang ini disuntikan kembali," ujarnya.
Kemudian, Pandu mengatakan setelah melewati proses penyimpanan diharapkan vaksin Nusantara tersebut dapat menciptakan antibodi.
Namun, metode vaksin tersebut akan berbahaya karena dilakukan di tempat terbuka.
"Akan bahaya karena tidak sterilitas, semuanya itu dilakukan di tempat terbuka, kalau di luar itu harus dengan laboratorium yang sifatnya tertutup, tidak ada udara masuk, kalau ada dibatasi betul. Kalau itu sudah terkontaminasi berbahaya," ujarnya.
Pandu mengatakan, langkah BPOM sudah tepat dengan melakukan hearing bersama para peneliti vaksin Nusantara dari Universitas Diponegoro dan RS Dr Kariadi.
Dengan begitu, kata dia, diketahui pengembangan vaksin Nusantara ini dilakukan oleh peneliti asal Amerika Serikat.
"Sekarang enggak berani lagi bilang produk anak bangsa. Bagaimana mungkin dana pemerintah membiayai penelitian dari Amerika, di Amerika enggak mungkin ini diizinkan," tuturnya.
Lebih lanjut, Pandu juga mempertanyakan, sejumlah anggota DPR yang akan menerima vaksin Nusantara.
Padahal, kata dia, anggota Dewan sudah melaksanakan program vaksinasi tahap kedua.
Selain itu, Pandu juga mempertanyakan, berapa dana yang dikeluarkan untuk membiayai vaksin Nusantara.
"Berapa dana pemerintah untuk vaksin Nusantara, ini harus diperiksa KPK," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, uji klinis fase kedua vaksin Nusantara dilanjutkan meski BPOM belum mengeluarkan izin atau Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK).
Sejumlah anggota Komisi IX akan menerima vaksin Nusantara di RSPAD Gatot Soebroto pada Rabu (14/4/2021).
Mereka menjadi relawan dalam uji klinis vaksin yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
"Bukan hanya sekadar jadi relawan ya, orang kan pasti mempunyai keinginan untuk sehat kan. Kalau untuk massal kan nanti prosesnya di BPOM tapi kalau per orang kan bisa menentukan yang diyakini benar untuk dia," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena, saat dihubungi, Selasa (13/4/2021).
Melki mengklaim, tim peneliti vaksin tersebut telah menyesuaikan pengembangan vaksin dengan rekomendasi dari BPOM.
"Dan sudah peneliti lakukan penyesuaian, sudah pernah diterapkan perbaikan seperti yang dicatatkan BPOM dan karena BPOM hanya memberikan semacam catatan rekomendasi Penelitiannya tetap berjalan," ujarnya.
Melki mengatakan, hingga saat ini tidak ada permasalahan yang muncul dari uji klinis klinis vaksin tersebut.
Kendati demikian, BPOM menyebut adanya komponen vaksin Nusantara yang tidak berkualitas untuk masuk ke tubuh manusia.
"Kan sudah ada yang tes dan tidak bermasalah, sudah pra klinis tahap satu tidak ada yang bermasalah. Jadi kalau sekarang kita mengatakan ini berbahaya kan enggak ada itu," ucapnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Epidemiolog: Harusnya Vaksin Nusantara Tak Dilanjutkan ke Uji Klinis Fase II", Klik untuk baca: