Berita Solo Terbaru
Jokowi Perintahkan Harga Tes PCR Corona Turun, Kini Berapa di Solo? Gibran : Tak Sampai Rp 495 Ribu
Sesuai perintah Presiden Jokowi, harga tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19 diturunkan menjadi Rp 495 ribu.
Penulis: Mardon Widiyanto | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Mardon Widiyanto
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Sesuai perintah Presiden Jokowi, harga tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19 diturunkan menjadi Rp 495 ribu.
Terlebih kini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akhirnya memutuskan untuk menurunkannya.
Adanya keputusan itu, membuat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka bersikap.
Dia mengaku akan menindaklanjuti terkait Kemenkes RI menurunkan harga PCR di Solo.
"Ya nanti kita kejar," kata Gibran kepada TribunSolo.com, Selasa (17/8/2021).
Baca juga: Sempat Jadi Sorotan karena PCR Mahal, Kini Presiden Minta Harga PCR Maksimal Rp550 Ribu
Baca juga: Ingat Bocah SD di Sragen yang Dirudapaksa? Nasibnya Pilu, Ketemu Pelaku Lantas Diberi Kepalan Tangan
Gibran mengatakan tarif baru dari PCR sekitar Rp 450 ribu hingga Rp 490 Ribu.
Ia memastikan tarif PCR baru di Solo nanti tidak mencapai Rp 495 ribu.
"Kita ikuti tarif yang ditentukan dari pusat," ucap Gibran.
Kemudian, dia berencana akan menambah satu lab untuk pemeriksaan PCR.
Hal tersebut dilakukan agar mendukung tracing di Kota Solo agar tetap bagus.
"Nggak masalah nanti saya minta, pertanggungjawab kan Pemprov, kalau perintahnya seperti itu ya kita laksanakan," jelasnya.
Perintah Jokowi
Mahalnya biaya tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Indonesia tengah menjadi sorotan.
Hal ini karena biayanya dianggap masih cukup mahal untuk sekali tes.
Baca juga: Merapi Muntahkan Dua Kali Awan Panas Pagi Ini, Desa Tlogolele Boyolali Diguyur Hujan Abu
Kabar terbarunya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengintruksikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi agar mengatur harga pasaran tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19 maksimal Rp 550 ribu.
Diketahui sebelumnya biaya PCR maksimal Rp 900 ribu.
Kebijakan baru ini seakan menjawab keluhan masyarakat yang menyatakan harga PCR masih mahal di pasaran.
Padahal, pemerintah tengah berupaya untuk meningkatkan testing Covid-19 di masyarakat.
Lebih detailnya Jokowi meminta nantinya kisaran harga PCR diminta dibanderol dengan biaya paling murah Rp450 ribu dan paling mahal Rp550 ribu.
"Salah satu cara untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga test PCR. Dan saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran Rp450 ribu sampai dengan Rp550 ribu," kata Jokowi dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (15/8/2021).
Jokowi juga meminta Menkes Budi Gunadi untuk dapat mempercepat hasil tes PCR. Maksimalnya, para masyarakat bisa dapat mengetahui hasilnya 1 x 24 jam.

"Selain itu juga saya minta agar tes PCR bisa diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1 x 24 jam. Kita butuh kecepatan," tukasnya.
Baca juga: Menyongsong Net Zero Emission, PLN Dalami Peluang Pemanfaatan Karbon melalui CCUS
Pajak Jadi Pemicu
Mengutip pemberitaan Kompas.com, 14 Agustus 2021, harga tes PCR di India turun dari 800 Rupee atau sekitar Rp 150.000 menjadi 500 rupee atau sekitar Rp 96.000.
Dilansir dari TribunNews, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) turut memberikan tanggapan terkait dengan adanya perbedaan harga pelayanan test swab PCR yang cukup tinggi antara di Indonesia dengan beberapa negara lain termasuk India.
Wakil Ketua Umum IDI Slamet Budiarto mengatakan, yang menjadi faktor utama mahalnya harga test di Indonesia itu adalah karena pajak barang masuk ke Indonesia cukup tinggi.

Perbandingan harga di Indonesia dengan negara lain juga, kata Slamet, tak hanya berlaku pada test PCR, melainkan segala keperluan obat-obatan dan laboratorium.
Saat dihubungi Tribunnews, Minggu (15/8/2021), Slamet mengatakan, "Biaya masuk ke Indonesia sangat mahal, pajaknya sangat tinggi, Indonesia adalah negara yang memberikan pajak obat dan alat kesehatan termasuk laboratorium."
Padahal kata dia, pemberian pajak pada alat kesehatan maupun obat-obatan itu tidak tepat.
Hal itu karena keperluannya untuk membantu orang yang sedang mengalami kesusahan.
Sedangkan pemberian pajak diberlakukan untuk masyarakat yang menerima kenikmatan seperti halnya pembelian barang atau kendaraan.
Slamet mengatakan, "Masa obat dan alat kesehatan dibebani pajak, yang dimaksud pajak kan kenikmatan, misal, dapet gaji beli mobil, beli handphone, beli rumah itu kenikmatan itu dikenai pajak oke, tapi orang susah jangan dibebani pajak, ini brunded ini."
Pihaknya bahkan kata Slamet telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan kementerian terkait agar untuk sedianya memberikan keringanan kepada masyarakat yang ingin berobat.

Baca juga: Mengenal Teknologi Emersif: Canggih & Pertama di Indonesia, Digunakan di Museum Kota Lama Semarang
Sebab akibatnya banyak masyarakat yang lebih memilih melakukan perawatan ke luar negeri atau bahkan negara tetangga karena harga berobatnya lebih terjangkau.
"Kami sudah surati Presiden sekitar bulan Maret-April, DPR juga sudah kita suratin agar obat dan alkes jangan dibebani pajak, udah itu aja (dibebaskan pajak) itu akan turun semua (harga test)," ucapnya.
Meski demikian, belum ada tindakan dari pelayangan surat yang diberikan pihaknya terkait hal tersebut.
Slamet mengatakan, "Yang memberikan respon baru Kemenko Perekonomian, katanya akan diperhatikan tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjut."
Atas dasar itu dirinya mewakili IDI mendesak pemerintah untuk memberikan relaksasi pajak masuk khususnya alat kesehatan dan obat-obatan ke Indonesia.
"Mendesak pemerintah untuk membebaskan pajak untuk obat alkes laboratorium, baik yang terkait Covid-19 maupun yang tidak terkait Covid-19, karena orang sakit kan tidak hanya terkait Covid-19 aja," tambahnya.
(Tribunnews.com/Igman/Rizki/Intisari)