Kesaksian Keluarga Letkol Slamet Riyadi : Bapak Pesan Jangan Nyebrang Laut, Lalu Gugur di Ambon
Ini wawancara kami bersama keluarga Slamet Riyadi, pahlawan nasional yang identik dengan Kota Solo.
Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Aji Bramastra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Muhammad Irfan Al Amin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Nama Ignatius Slamet Riyadi sangat lekat dengan Kota Solo.
Jalan terbesar sekaligus jalan teramai di Kota Solo, dimanami dengan nama sang pahlawan nasional.
Baca juga: Sejarah Kota Solo 1 Juni 1946 : Surakarta Resmi Kehilangan Status Kerajaan, Melebur ke Jawa Tengah
Satu patung besar Slamet Riyadi juga berdiri kokoh di pusat kota Bengawan.
Tapi, siapa sebenarnya Slamet Riyadi, dan bagaimana jejaknya di Kota Solo?
Sebagai sosok prajurit angkatan darat, Slamet lahir pada 26 Juli 1927 di Jalan Tejonoto I No.3, Kampung Jogosuran RT 01/ RW 05, Kelurahan Danukusuman, Kecamatan Serengan Solo.
Rumah itu kini dihuni oleh kemenakannya yaitu Siti Sumarti (76) beserta anak cucunya.
TribunSolo.com berkesempatan berkunjung rumah tersebut, dan ada plang penanda bahwa itu merupakan kediaman dari almarhum Slamet Rijadi.
Terlihat rumah itu sangatlah sederhana, banyak cat dinding yang mengelupas di berbagai sisi.
Meskipun demikian, rumah yang nyaris berusia dua abad itu, masih menunjukkan sisa-sisa kemegahan sebagaimana rumah para priyayi Jawa.
Ya, Slamet lahir dari keluarga prajurit dari Kasunanan Surakarta yang diturunkan dari darah ayahnya yang bernama Raden Idris Prawiropralebdo dan ibunya Soetati.
Sehingga jiwa militeristik dan kebangsawanan melekat pada dirinya.
Meskipun demikian, Siti Sumarti mengisahkan bahwa pamannya adalah sosok yang egaliter, dan rendah hati.
"Dia tidak mau ada embel-embel kebangsawanan pada dirinya, karenanya dia punya teman dimana-mana," katanya pada Selasa (17/8/2021).
Unsur darah biru pada Slamet dimanfaatkan sebaik mungkin, salah satunya dalam bidang pendidikan.
Dia menamatkan Sekolah Pelayaran Tinggi di Cilacap pada tahun 1944.
"Suatu hal yang langka orang jaman dahulu bisa sekolah hingga pendidikan tinggi," ungkapnya.
"Kalau bukan karena bapak bangsawan itu mustahil," ujarnya.
Aktif di Militer Angkatan Darat
Slamet yang berkesempatan mengenyam bangku pendidikan, juga di saat yang sama mengikuti kepanduan.
Dari organisasi pandu, jiwa kepemimpinannya terbentuk.
"Nama Slamet Riyadi waktu itu sudah masyhur dimana-mana, walau belum bergabung dengan TKR saat itu," jelasnya.
Meski dirinya adalah lulusan akademi pelaut, namun saat perang dunia II berkecamuk, Slamet lebih memilih kembali ke Solo untuk melawan penjajah.
Di sinilah karirnya mulai melejit.
Promosi demi promosi silih berganti menghampiri.
Ia bertanggungjawab atas Resimen 26 Surakarta dan ikut dalam serangan 4 hari.
Prestasinya yang gemilang juga membuatnya dipercaya untuk melawan Angkatan Perang Ratu Adil bentukan Raymond Westerling.
Gugurnya Slamet Riyadi
Perjuangan Slamet Rijadi dalam melawan penjajah ternyata tidak semuanya diceritakan kepada keluarga.
Penyebabnya, Slamet yang sangat jarang pulang, dan kepribadiannya yang jarang bercerita.
Hingga akhirnya panggilan tugas ke Ambon tiba.
Ayah Slamet sempat mewanti-wanti jangan sampai bertugas di seberang pulau.
Ada sebuah ketakutan yang menghantui bila tetap nekat melakukan.
"Dulu simbah (ayah Slamet Rijadi) sempat berpesan agar jangan menyebrangi laut, dan benar saat beliau bertugas di Ambon langsung gugur," ujarnya.
Bahkan saat berangkat ke Ambon pihak keluarga juga tidak dikabari.
"Keluarga tidak dikabari, kalau tahu pasti dilarang," terangnya.
Namun jelang keberangkatan, Slamet menunjuk gelagat yang unik.
Dirinya menginap di pusara ibunya semalaman, seakan meminta ijin untuk pamit berperang.
"Tetangga tahu dia menginap karena mobil Jeep-nya terparkir di halaman kuburan" ungkapnya.
Hingga akhirnya berangkatlah Slamet Riyadi ke Ambon dan menjadi misi terakhirnya membela Indonesia.
"Hingga akhirnya Simbah yang biasa menyimak radio mendengar, Slamet Rijadi gugur diserang oleh pasukan Republik Maluku Selatan (RMS)," ucapnya.
Mendengar hal itu ayah Slamet Rijadi langsung minta dihantarkan ke pusara anaknya di Ambon.
Dengan bantuan dari Kolonel Gatot Subroto, keinginan itu akhirnya terkabul.
Dari wasiat Slamet sebelum gugur, dirinya ingin dimakamkan di tempat dia berjuang, sehingga keluarga tidak bisa membawa jasadnya pulang dan hanya beberapa butir tanah dari makamnya di Ambon untuk dibawa pulang.
"Akhirnya kami mendirikan nisan Slamet Rijadi di Taman Makam Pahlawan Jurug, agar keluarga dan kolega yang di Solo bisa berziarah lebih dekat," terangnya.
Gugur Tanpa Meninggalkan Anak
Slamet Riyadi gugur pada 4 November 1950 di usianya yang masih belia yaitu 23 tahun.
Dirinya tak meninggalkan putra maupun putri dan hanya memiliki satu saudari yaitu Soekati Djojowidagdo.
Oleh karenanya di setiap ada acara yang melibatkan nama Slamet Rijadi yang diundang adalah kemenakannya yang berjumlah tiga orang yaitu, Siti Sumarti, Wiharto, Seno Aji Gunawan.
Termasuk saat penerimaan gelar Pahlawan Nasional Indonesia dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007.
"Waktu itu saya yang menerima dan Presiden (SBY) mengucapkan terimakasih kepada kami selaku keluarga almarhum Slamet Rijadi," jelasnya.
Ada banyak nama, jalan, gereja hingga universitas yang menggunakan nama Slamet Rijadi dan Siti Sumarti selaku kemenakan yang masih di Solo yang sering disambangi dan dimintai restu.
"Biasanya dari TNI seperti Kopassus, Kodim, Korem bila ingin berziarah akan ijin saya dulu," ucapnya.
Siti berharap meski nama pamannya diabadikan di berbagai tempat, para generasi muda mau menggali lebih dalam dan kembali mempelajari sejarah, agar bisa ditiru dan perjuangannya bisa diteruskan.
"Agar generasi muda bisa kembali membaca sejarah dan mengenal lebih dekat sosok Slamet Rijadi," harapnya. (*)