Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sukoharjo Terbaru

Nama Kampung di Sukoharjo Ini Ternyata Diambil dari Zaman Keraton, Ada Seliran hingga Begajah

Nama-nama sejumlah Kampung di Kecamatan/kabupaten Sukoharjo ternyata memiliki arti mendalam. 

Penulis: Agil Trisetiawan | Editor: Ryantono Puji Santoso
TribunSolo.com/Agil
Budayawan asal Kecamatan Nguter, Sukoharjo, Kokor Wijanarko saat menjahit bendera merah-putih raksasa. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Agil Tri

TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Nama-nama sejumlah Kampung di Kecamatan/kabupaten Sukoharjo ternyata memiliki arti mendalam. 

Pegiat budaya Sukoharjo, Antonius Bimo Wijanarko (Kokor) mengatakan, dulunya Sukoharjo masuk dalam wilayah yang akan dijadikan Keraton Kasunanan Surakarta. 

Hal itu dibuktikan sejumlah nama Kampung dan Kelurahan di Kecamatan/kabupaten Sukoharjo, yang memiliki makna akan dijadikan Keraton di Sukoharjo.

Baca juga: Sejarah Desa Tempursari Klaten, Terkait Cerita Sosok Kiai Imam Rozi: Prajurit Pangeran Diponegoro

Baca juga: Jamal Musiala, Wonderkid Bayern Muenchen Ukir Sejarah Bundesliga, Yuk Intip Profilnya!

"Seperti nama Kelurahan Joho, diambil dari Doho. Ini seperti Doho di Kediri," katanya, Selasa (21/9/2021).

Nama Kelurahan lain yang memiliki filosofis kerajaan yakni Kelurahan Begajah

Kokor menyakini jika kata Begajah itu diambil karena wilayah tersebut dijadikan lokasi untuk menernak Gajah.

Baca juga: Jadwal Liga Inggris Hari Ini: Liverpool vs Burnley, The Reds Berpeluang Cetak Sejarah Baru Klub

Lalu disebelahnya ada Kampung Sengon, yang memiliki arti Seng Angon (red: yang mengembala). 

"Di Sengon itu mungkin dijadikan tempat tinggal untuk orang yang mengurus hewan peliharaan yang dimiliki Keraton," ujarnya. 

Lalu di Kampung Larangan, Kelurahan Gayam dijadikan gudang senjata, sehingga orang dilarang masuk areal tersebut.

Baca juga: Rekor Emas Inggris vs Denmark : Jordan Pickford Resmi Jadi Kiper Terhebat Inggris Sepanjang Sejarah

Kemudian wilayah Carikan itu diproyeksikan sebagai tempat administrasi, atau tempat juru tulisnya keraton. 

Disebelah Carikan ada Kampung Seliran, yang diartikan tempat selir para raja. 

Lalu di Kampung Macanan, di Kelurahan Mandan itu dijadikan semacam kebun binatang untuk hewan koleksi warga. 

Kokor menuturkan, ada dua lokasi lainnya yang akan dijadikan Keraton Kasunanan Surakarta selain di Sukoharjo Kota. Yakni di Mojolaban, di Kota Solo tempat keraton saat ini berdiri. 

Jejak Pangeran Mangkubumi di Jenar

Tidak hanya Surakarta dan Yogyakarta saja, ternyata Kabupaten Sragen dulunya juga pernah ada bangunan keraton.

Informasi yang dihimpun TribunSolo.com, jika keraton di Sragen disebut sebagai Keraton Ing Alaga.

Keraron tersebut yang didirikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang saat ini dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I saat bergerilya melawan penjajah Belanda.

Keraton Ing Alaga terletak di Dukuh Tawang, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar.

Dulunya, keraton tersebut berdiri diatas lahan seluas kurang lebih 5 hektar, di mana kini warga desa setempat menyebutnya sebagai tanah keraton.

Baca juga: Wisata Religi Boyolali : Makam Syech Maulana Ibrahim di Kaki Gunung Merbabu

Baca juga: Di Daerah Sragen ini, Warga Percaya Dengarkan Lagu Sinden Bisa Bikin Terjebak di Dunia Lain

Saat ini, tanah keraton di Dukuh Tawang sudah berubah menjadi lahan pertanian dan membentuk cekungan, karena pernah digunakan sebagai tambang galian C.

Sudah tidak ditemukan bekas bangunan keraton di sana, namun sesekali petani dan warga sekitar menemukan bata raksasa berwarna merah yang diyakini bangunan keraton.

Perangkat Desa Kandangsapi, Komar mengatakan keraton tersebut diperkirakan didirikan pada sekitar tahun 1745, ketika Pangeran Mangkubumi keluar dari Kerajaan Surakarta untuk melawan penjajah Belanda.

"Dalam perjalanannya, Pangeran Mangkubumi terlebih dahulu singgah di Pandak Karangnongko, di sana cikal bakal berdirinya Kabupaten Sragen," ujarnya kepada TribunSolo.com, Rabu (15/9/2021).

Karena Dukuh Pandak Karangnongko dekat dengan jalur lintas provinsi Belanda, akhirnya Pangeran Mangkubumi pindah ke arah utara dan bertemu dengan Kiai Srenggi, mantan panglima Kerajaan Kartasura.

Kemudian perjalanan kembali dilanjutkan, Pangeran Mangkubumi sampailah di sebuah tempat, yang merupakan pertemuan dua sungai, yakni Sungai Sawur dan Bengawan Solo.

"Dan di sinilah, Dukuh Tawang, Desa Kandangsapi, Pangeran Mangkubumi mendirikan bangunan keraton sementara," singkatnya.

Di keraton tersebut merupakan tempat bertemunya 27 tokoh penting, yang mendukung Pangeran Mangkubumi untuk berperang melawan penjajah Belanda.

Keraton di Dukuh Tawang itu, digunakan sebagai tempat mengumpulkan kekuatan dan membuat strategi untuk melawan penjajah Belanda.

Saat masih berada di Desa Kandangsapi, Raja Pakubuwana II dikabarkan sakit, dan Pangeran Mangkubumi didesak pasukannya untuk menjadi raja, namun menolak.

Sampai akhirnya Raja Pakubuwana II meninggal dunia, yang kemudian sang anak, diangkat menjadi Raja Pakubuwana III oleh Belanda.

"Pangeran Mangkubumi yang ada di sini, itu mendengar kakaknya meninggal, kemudian dia diangkat oleh pasukannya di sini sebagai Raja Pakubuwana III Susuhunan Kabanaran, atau Sunan Kabanaran yang diabadikan dalam prasasti Prabegan," jelasnya.

Setelah kurang lebih satu hingga dua tahun Pangeran Mangkubumi berada di Dukuh Tawang, kemudian gerilya dilanjutkan ke Desa Jekawal, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen.

Dalam pelariannya dari Keraton Surakarta, Pangeran Mangkubumi dan pasukannya terus berperang melawan Belanda.

Baca juga: Patung Raja Keraton Solo Setinggi 4 Meter Berdiri di Boyolali, Ini Cerita Mengapa Dibangun di Sana

Baca juga: Pertama di Indonesia, Patung Raja Keraton PB VI Berukuran Raksasa Berdiri di Selo, Bukan di Solo

Kemudian, besarnya kekuatan Pangeran Mangkubumi membuat penjajah Belanda kewalahan, yang kemudian Belanda menyodorkan perjanjian damai.

Perjanjian tersebut diterima oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian wilayah Surakarta dipecah menjadi dua, yang saat ini disebut sebagai Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.

Pangeran Mangkubumi memegang kekuasaan di Keraton Yogyakarta, dengan Gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedangkan Raja Pakubuwana III tetap memegang kekuasaan Keraton Surakarta.

Menurut Komar, Sultan Hamengkubuwana IX pernah berkunjung ke Desa Kandangsapi, untuk melihat tapak tilas, perjuangan pendahulunya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved