Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Tak Sirna Dihantam Pandemi, Petani Kopi di Lereng Sindoro-Sumbing Sumringah Kumpulkan Pundi-pundi

Desa Muncer di lereng Gunung Sindoro-Sumbing kini kian berubah dengan tanaman kopinya. Bahkan produksinya dibawa ke Belanda untuk penjajakan eskpor.

Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Eka Fitriani
TribunSolo.com/Asep Abdullah
Hamparan tanaman kopi di Desa Muncar, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng). Panen raya secara serentak biasanya memasuki Juni-Juli. 

“Lebih bangganya kami dipertemukan dengan buyer-buyer baru, bahkan kopi kita Muncar diuji cita rasa di Amsterdam Belanda, hasilnya bagus,” paparnya.

“Ini kan bagus banget, mengangkat kopi Muncar jadi mendunia, di kenal di negara-negara luar dan tak kalah dengan kopi lain,” ujar dia.

Belum lagi kata dia, ada buyer dari luar negeri yang meminta kopi 20 ton per bulan dengan kualitas tertentu.

Tak tangung-tanggung, biasanya dihargai antara Rp 25.000 per kg, di Belanda bisa Rp 40 ribu per kg sehingga petani bisa mendapatkan hasil berlebih.

Baca juga: Toyota Astra Motor Recall Avanza 2017-2019 yang Bermasalah, Cek Apakah Unit Anda Termasuk

Baca juga: Persis Solo Juara Liga 2, Coach Eko Masih Malu-malu Soal Masa Depan di Persis : Kita Lihat Nanti

Di mana buyer ini dipertemukan oleh Astra membuat tenang petani, karena ada pandangan lainnya sehingga tidak hanya dibeli oleh satu atau dua tengkulak saja.

Termasuk sebagain petani muda kini gencar menekuni pasar online karena potensial.

“Ini harapan yang besar petani Muncar untuk ekspor, jadi tak hanya penuhi lokal,” harap dia.

Sempat Sakit Tapi Bangkit

Sesepuh petani kopi Muncar, Jumiran (54) mengungkapkan, selama puluhan tahun sebagian besar warga yang menanam kopi hanya sebagai sampingan, sehingga ala kadarnya.

Berbeda dengan dirinya membuka lahannya khusus untuk kebun kopi, sehingga jika dibandingkan dengan petani lain hasilnya jauh berbeda.

Untuk itu dia selama ini mengajak petani kopi lainnya merubah nasib dengan apa yang ditanamnya karena jelas-jelas menghasilkan pundi-pundi.

“Bayangkan saja, kalau tanaman kopi utama artinya tak diselipi berbagai tanaman misal pohon sengon dan lainnya, hasilnya sangat-sangat memuaskan,” aku dia.

“Satu pohon punya saya sekali panen bisa berisi kopi 40-50 kg, tapi mereka yang tanam ala kadarnya hanya 8-10 kg, padahal jenis bibitnya sama,” ungkapnya memberkan.

Sebagai sesepuh, dia pun merangkul satu demi satu petani agar berubah cara tanam dan pengelolaan sepertinya, sehingga tak sedikit berguru kepadanya.

Mengingat kopi Muncar selalu laku, karena warung kopi dan café selama ini terus bertumbuh, memakai produk dari petani kopi dalam setiap olahan minumnya.

“Apalagi ada Astra, bersama-sama pemerintah juga mengupayakan produk kopi dari Muncar benar-benar kualitasnya terjaga dan menambah nilai lebih saat dijual,” harap dia.

Dia mengaku paling sedikit memiliki 300 pohon yang dikelola dengan pupuk kendang alami tanpa obat kimia, perawatan rutin dan tidak diberi peneduh atau ditumpangi pohon lainnya.

Jika harga kopi masih mahal-mahalnya Rp 25.000-Rp 26.000 per kg, maka dalam setahun menghasilkan uang yang tidak sedikit untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan.

“Ya memang tidak instan, tapi kalau ditekuni hasilnya bisa dikalikan saja saat panen,” aku dia.

Meksipun sempat sedih diterpa pandemi Covid-19 selama dua tahun ini, Jujuk sapaan akrabnya mengaku  tetap bersyukur karena harga terendah hanya sampai Rp 20.000 per kg untuk kopi siap goreng dan giling.

“Kemarin tidak beruntung, hampir semua petani kopi gitu, tapi sakit ini harus membuat kita bangkit, ini saja sudah mulai dihargai Rp 26.000 per kg, kan bagus,” ujar dia.

Jujuk yang sehari-hari juga Kepala Dusun (Kadus) itu menambahkan, jika di dalam Desa Muncar dari 1.000 kepala keluarga (KK) lebih, mayoritas 80-90 persen menanam kopi.

Memang petani kopi di daerahnya beragam, ada yang kecil, menangah dan besar sekalipun, juga ada yang taman ala kadarnya sampai yang benar-benar serius seperti diirnya.

 “Ya bisa dinamakan lumbung kopi, karena saat panen raya Juni-Juli, ratusan hingga seribuan ton kopi per tahun dihasilkan dari Muncar,” jelas dia.

Kopi Muncar Sampai Belanda

Penanggungjawab Program Desa Sejahtera Astra (DSA) Temanggung, Sofiyudin Achmad memaparkan, apa yang sudah diperjuangan siang malam sejak 2018, membuahkan hasil.

Tak hanya peningkatan SDM karena pengolahan usaha belum efektif, bahkan pendapatan financial petani meningkat, apalagi sebagian orang mengumpulkan kayu gelondongan saja.

“Dari produksi kopi bisa dapat Rp 30 juta sebulan, sementara minapadi bisa Rp 25 juta karena penataan segala bidang,” kata sosok penerima apresiasi Satu Indonesia Awards 2017 itu.

Di balik tanaman kopi di Muncar, sebenarnya ada cerita sangat panjang asal mula kopi berkembang di sana yakni sejak zaman penjajahan Belanda.

Baca juga: Ini Arabika Gondosini dan Robusta Brenggolo, Kopi dari Tanah Wonogiri 

Baca juga: Harga Minuman, Snack & Makanan di Bundaran HI Tawangmangu : Kopi 5 Ribu, Indomie Tante Rp 8 Ribu

Hal ini menurut dia, terbukti dari prasasti VOC 1619  yang berada di bukit Tanggulangsi Desa Muncar dengan sebutan wilayah terbaik untuk pengembangan budidaya kopi Robusta.

Karena butuh sentuhan ‘magis’ agar lebih maksimal dan dikenal di mana-mana, Astra masuk melalui program DSA sejak 2018 silam.

“Banyak program pembinaan, di antaranya kami mengemas Festival Panen Raya Kopi Sang Intan Merah Bumi Phala, kalau panen raya begitu gegap gempita,” jelas dia.

Selama beberapa tahun bersama kelompok tani, dia melakukan kerja keras agar kopi Muncar semakin moncer di pasaran dalam dan luar negeri.

Yakni kata dia, diawali dari 2018-2019 dengan upaya klasterisasi produk unggulan, penguatan kelembagaan berbasis satu pintu hingga pembentukan kelompok usaha bersama.

Kemudian setahun berikutnya dengan membuat strategi perluasan produk turunan dan akses pasar, hingga peningkatan promosi mulai branding, advertising dan selling.

“Baru tahun ini (2021), perluasan buyer kopi beragam rasa karena turunan, promosi ke Belanda langsung dan pembentukan Koperasi Mulyo Migunani (MM Group),” tutur dia.

Hasilnya bahkan merambah ke daerah-daerah lain, sehingga mitra DSA pun menjamur di lereng Gunung Sindoro-Sumbing itu.

Sofi sapaan akrabnya menyebut, sebelumnya pada 2018 jumlah desa binaan hanya 3 desa, pada 2020 menjadi 4 desa dan paling banyak tahun ini menjadi 14 desa.

Salah satu hasil turunan kopi yang sudah dikemas usai pembinaan DSA. Sebelumnya petani hanya menjual biasa, panen dan pengeringan begitu saja.
Salah satu hasil turunan kopi yang sudah dikemas usai pembinaan DSA. Sebelumnya petani hanya menjual biasa, panen dan pengeringan begitu saja. (TribunSolo.com/Asep Abdullah)

Dia menambahkan, warga yang terpapar dengan adanya program pengembangan desa juga mengalami kenaikan signifikan, yakni pada 2018 hanya 200 orang, bertambah pada 2019 menjadi 350 orang dan 2020-2021 total 5.500 orang.

“Belum lagi penyerapan tenaga kerja, banyak yang kemudian dapat penghasilan untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya,” ungkapnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, tanaman kopi menjadi pemantik perkembangan desa sehingga kemudian mengubah desa yang biasa-biasa saja menjadi kawasan pariwisata pedesaan dengan memoles segala potensi dan daya tariknya.

Bahkan ada yang menyebutnya Muncar adalah ‘Balinya Jawa Tengah’.

Bagaimana tidak hamparan kopi di mana-mana, sawah juga menghiasi banyak sudut, dan alamnya yang hijau royo-royo membawa kenyamanan bagi setiap pengunjungnya.

“Selain turunan kopi, ada turunan lainnya seperti pariwisata dan ekonomi kreatif (budaya), sehingga ada income tambahan bagi warganya,” harap dia.

“Hamparan terasering persawahan ala ubud yang dikelilingi perbukitan melingkar,” akunya.

Menurut Sofi, sejak dikemas menjadi kawasan wisata, Muncar tak hanya melulu soal kopi, tetapi ada banyak hasil bumi yang bisa dibanggakan kepada wisatawan.

Baca juga: Harga Minuman, Snack & Makanan di Bundaran HI Tawangmangu : Kopi 5 Ribu, Indomie Tante Rp 8 Ribu

Baca juga: Ini Daftar Obat Kuat Ilegal yang Bisa Berdampak Buruk pada Kesehatan, Banyak Berbentuk Kopi

Mulai dari nira dan produk gula semutnya, pisang termanis, panili, padi, pala wija hingga aneka tanaman unggulan lainnya.

Bahkan selama ini wisatawan yang hadir disuguhkan paket wisata, mulai disiapkan homestay, penampilan seni budaya, tour desa dengan jeep, menikmati sunset di gardu pandang, jembatan warna-warni, cara memanen kopi di kebun hingga cara mengolahnya.

“Sekarang  valuasi asset DSA Temanggung sudah Rp 1,1 miliar, mulai dari aset tetap, tumbuh, bergerak dan berkembang,” terang dia.

“Bahkan warga yang diajak kolaborasi missal sewakan rumahnya untuk homesty, juga ada pemasukan lainnya,” harapnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved