Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Solo Terbaru

Ironi Kasus KDRT Puluhan Perempuan di Solo : Pilih Cerai, Ketimbang Jalani Proses Hukum yang Ruwet

Banyak perempuan di Solo yang menjadi korban KDRT, tak menempuh upaya hukum untuk membuat jera pasangannya, karena proses hukum yang ruwet.

Kompas/Toto Sihono
Ilustrasi istri jadi korban perceraian. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Vincentius Jyestha 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Banyak perempuan di Solo yang menjadi korban KDRT, tak menempuh upaya hukum untuk membuat jera pasangannya. 

Penyebabnya, mereka malas melakukan upaya hukum karena menganggap proses hukum di Indonesia yang berbelit-belit.

Baca juga: Miris, SPEK-HAM Catat Ada 72 Kasus Kekerasan Perempuan: Solo Sumbang 34 Kasus, Didominasi KDRT

Hal itu diungkap oleh LSM Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia atau SPEK-HAM Surakarta.

Manager Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat SPEK-HAM, Fitri Haryani, mengungkap, seringkali perempuan korban tidak melaporkan secara pidana pelaku kekerasan meskipun bentuk kekerasan yang dialaminya tidak tunggal, bahkan seringkali sampai mengancam nyawa sekalipun. 

"Mereka memilih jalur hukum perdata, yaitu perceraian, meskipun seringkali masih meninggalkan persoalan terkait perebutan hak asuh anak," kata Fitri kepada TribunSolo.com, Selasa (29/3/2022). 

Baca juga: Viral Warganet di Karanganyar Curhat Jadi Korban Pelecehan Pengendara Mio Merah, Ini Kata Polisi

Ada beberapa alasan mengapa perempuan sebagai korban urung melaporkan pelaku secara pidana. 

Antara lain hukuman yang tidak setimpal, proses hukum yang lama hingga berbelit-belit, hingga menjaga nama baik suami dan keluarga di depan publik. 

"Situasi ini sangatlah disayangkan mengingat Indonesia telah mempunyai Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang seharusnya mampu memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan," katanya. 

Fitri menegaskan hingga saat ini hak-hak korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi, terutama hak atas keadilan dan pemulihan. 

Terbatasnya tindakan kejahatan seksual yang dikenali oleh KUHP dan sistem pembuktian yang tidak peka pada kondisi korban, menyebabkan sebagian besar pelaku kejahatan seksual bebas dari jeratan hukum.

Selain itu, kata dia, belum ada regulasi yang secara khusus menjamin dilaksanakannya pemulihan bagi korban kekerasan seksual. 

"Itu menyebabkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual hanya berfokus pada penghukuman pelaku dan mengabaikan aspek pemulihan korban," jelasnya. 

"Padahal, dampak dari tindakan kekerasan seksual tidak saja terhadap fisik, psikis dan organ atau fungsi seksual korban, tapi juga terhadap keberlangsungan kehidupan korban dan keluarganya," pungkas dia.

Kota Solo Paling Banyak

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved