Breaking News

Berita Wonogiri Terbaru

Tradisi Tunggon dari Wonogiri : Pria Mengabdi di Rumah Orang, Hadiahnya Nikahi Anak Gadis Tuan Rumah

Tradisi Tunggon di Wonogiri masih dijalankan beberapa warga. Tradisi ini dimana seorang pria tinggal di rumah wanita yang ingin dinikahinya.

TribunSolo.com/Aji Bramastra
Ilustrasi Pernikahan: Di Wonogiri ada tradisi Tunggon, dimana seorang pria mengabdi di rumah orang dengan tujuan menikahi anak gadis pemilik rumah. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Erlangga Bima Sakti

TRIBUNSOLO.COM, WONOGIRI - Tradisi Tunggon hingga saat ini masih dijalankan oleh segelintir warga di Kecamatan Karangtengah, Wonogiri.

Tradisi tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab maraknya pernikahan dini yang berisiko terjadinya kasus anak stunting.

Camat Karangtengah, Tri Wiyatmoko mengatakan tunggon itu merupakan bahasa jawa yang artinya menunggu. Tradisi tersebut sudah muncul sejak zaman dahulu.

Dijelaskan, tradisi tunggon adalah saat ada anak perempuan di bawah umur yang belum menikah, ditunggu oleh laki-laki yang ingin menikahinya di rumahnya.

"Sebagian masyarakat di sini masih ada yang melakukan. Tradisi itu akan kami larang. Ini upaya untuk mencegah perkawinan anak dan mengurangi angka stunting di Karangtengah," kata dia, kepada TribunSolo.com, Kamis (25/8/2022).

Menurutnya, Pemerintah kecamatan belum merinci atau mencatat berapa jumlah warganya yang masih melakukan tunggon.

Kendati demikian, pihaknya mengetahui ada angka pernikahan dini yang berasal dari tradisi tunggon. Saat ini, masih ada beberapa warga yang menjalankan tradisi itu.

"Kami berkomitmen melarang itu. Saat ini sudah ada satu dusun yang warganya mempunyai kesepakatan meninggalkan tunggon," ujarnya.

PJ Kades Karangtengah, Wiyono, menjelaskan saat ini di wilayahnya ada sejumlah warga yang menjalankan tradisi tunggon. Bahkan, pada Agustus ini ada pengajuan pernikahan anak di bawah umur.

Proses tradisi tunggon sendiri, kata dia, berawal dari seorang laki-laki yang tinggal di rumah perempuan dengan niat ingin menikahi anak perempuan itu.

Selama tinggal di rumah perempuan, setiap hari si laki-laki membantu seluruh pekerjaan orang tua si perempuan, seperti mencarikan rumput, mencangkul dan pekerjaan lain.

"Nanti pada akhirnya laki-laki itu nikah dengan anak perempuan pemilik rumah itu," terang Wiyono.

Yang membuat miris, rata-rata perempuan yang ditunggu masih berusia di bawah umur, biasanya baru lulus dari SMP karena tidak lanjut ke SMA atau SMK.

Baca juga: Viral Video Ibu-ibu Rombongan Jemaah Haji Berdandan Maksimal di Pesawat, Ternyata Sudah Tradisi

Sementara untuk laki-laki yang menunggu biasanya sudah dewasa. Itu berasal dari satu dusun maupun luar dusun atau desa dengan keluarga perempuan.

Untuk masa tunggu atau lama seorang melakukan tunggon, jelas Wiyono, berbeda-beda. Mulai dari hanya beberapa bulan hingga ada yang mencapai tahunan.

"Kalau tidak lanjut sekolah dan melakukan tunggon itu karena ada faktor. Kalau ekonomi tidak terlalu minus, sebenarnya mampu," jelasnya.

Tradisi tunggon itu disebabkan sebagian orang tua memiliki mindset jika ada yang melamar atau menunggu anak perempuannya akan bangga.

Pasalnya, mereka menjadi tidak khawatir kalau anaknya tidak laku dan menjadi perawan kasep. Akhir dari tradisi tunggon pasti menikah.

Faktor lain diantaranya karena sudah ditunggoni anak harus segera dinikahkan agar tidak berdosa. Kemudian juga faktor tidak melanjutkan pendidikan, menjadi penyebab seseorang menjalani budaya tunggon.

"Jumlahnya kami tidak bisa merinci. Kemarin masih ada dua orang yang mengajukan dispensasi perkawinan juga. Setiap ada yang mengajukan tetap kami tanya ada yang memang pacaran dan ada yang karena tunggon juga," terang dia.

Pihaknya mengaku telah melakukan upaya pencegahan, misalnya membentuk Posyandu Remaja sejak Januari 2022 lalu.

Kegiatannya, setiap bulan ada penyuluhan kesehatan dan pembinaan rohani yang dilakukan bersama Puskesmas dan penyuluh agama dari KUA.

"Di Dusun Niten ini kami jadikan percobaan. Seluruh warga sudah kami kumpulkan dan mereka sepakat untuk melarang tunggon. Jika melanggar ada sanksi sosial. Warga sudah mulai sadar saat ini," pungkasnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved