Berita Solo Terbaru
Solo Dikepung Banjir, Saran Pakar Tata Kota UNS untuk Gibran : Peremajaan Permukiman Kumuh
Guna mengatasi banjir di Solo, ada saran dari pakar untuk Gibran agar bisa melakukan pengelolaan pada kawasan kumuh, sehingga ruang serapan luas.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Ryantono Puji Santoso
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kota Solo kembali dikepung banjir sejak Kamis (16/2/2023).
Banjir disebabkan tingginya curah hujan yang mengguyur Solo dan sekitarnya, juga karena dampak dibukanya pintu air Waduk Gajah Mungkur.
Bencana banjir ini, seakan-akan sudah menjadi kejadian rutin tahunan yang harus dihadapi warga Solo.
Lantas, apakah bisa Kota Solo terbebas dari banjir?
Pakar Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik UNS, Prof Ir Winny Astuti, M.Sc, Ph.D mengatakan, salah satu penyebab terjadinya banjir karena semakin sedikitnya resapan air di Kota Solo.
Hal itu dikarenakan pembangunan yang intens tanpa diimbangi dengan ketersediaan lahan resapan air.
Menurutnya, banjir di Kota Solo tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, namun masih bisa dikurangi resikonya.
"Kalau menghilangkan banjir sama sekali agak susah, karena kita sudah terlanjur menjadi kota besar, kalau harus direncanakan ulang tidak mungkin juga, cara mengurangi resiko dengan menambah lahan resapan air," ujarnya kepada TribunSolo.com, Jumat (17/2/2023).
Penambahan lahan resapan air, bisa dilakukan dengan menambah ruang terbuka hijau berupa dibangun sumur resapan di lingkungan perkampungan atau bisa dengan menambah taman kota.
Meski Solo sudah menjadi kota besar yang padat penduduk, bukan berarti tidak ada cara untuk menambah ruang terbuka hijau.
Baca juga: Nasib Warga Dusun Gupakan Wonogiri, Sudah Tiga Hari Mengungsi, Masih Dihantui Longsor
"Jadi kadang-kadang orang itu mengira kalau kota sudah sangat besar, sudah tidak ada lagi lahan untuk ruang terbuka hijau, masih ada cara lain yang bisa diterapkan," terangnya.
Winny menyarankan kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka untuk menambah resapan air dengan melakukan peremajaan permukiman kumuh.
Dia menyebut ada sekitar 70 hektare permukiman kumuh di Kota Solo, yang tersebar di 7-8 titik, salah satunya di Semanggi.
Peremajaan permukiman kumuh bisa dilakukan dengan mengubah kawasan padat penduduk yang semula horizontal, menjadi bangunan vertikal, yakni rumah susun.
Dengan begitu, maka akan menyisakan lahan yang cukup banyak untuk menambah ruang terbuka hijau.
"Ada mekanisme konsolidasi lahan, itukan ada peraturan tentang peremajaan kota, tapi ada persyaratan tertentu dan tidak sembarang," jelasnya.
"Misal satu kawasan kumuh terdiri dari 100 KK, kemudian dibangun rusun di tempat yang sama, yaitu 100 KK itu yang menjadi prioritas pertama untuk menempati rusun, dengan pembangunan tanpa menggusur," tambahnya.
Sembari dilakukan peremajaan permukiman kumuh, juga direncanakan sanitasi hingga akses jalan yang baik, sehingga akan menciptakan kawasan yang benar-benar nyaman dan masalah berkurang.
"Kalau itu dilakukan di beberapa titik, kan penambahan lahan resapan bisa sekian hektar, ruang terbuka hijau yang hanya 14 persen, bisa jadi 20 persen," ujarnya.
Winny menuturkan, untuk melakukan peremajaan kota memang membutuhkan perencanaan yang baik.
Selain itu, juga membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
"Memang biayanya besar, tapi mungkin bisa menjalin kolaborasi dengan banyak pihak, entah itu dengan kementerian atau swasta," ujarnya.
"Saya yakin Pak Wali punya network yang luas, itu bisa dijadikan instrumen untuk menjalin kerjasama dengan kemen PUPR, swasta, dan juga masyarakat, tidak cukup hanya dengan mengandalkan APBD Surakarta," imbuhnya.
"Kalau tidak ada ruang resapan air yang memadai, akan berulang terus masalah itu," pungkasnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.