Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Gunung Merapi Erupsi

Mitos Gunung Merapi dari Desa Tlogolele Boyolali : Jangan Bunyikan Kentongan, Nanti Merapi Marah

Di desa Tlogolele Boyolali, warga meyakini mitos, bila membunyikan kentomgan, akan tertimpa bahaya setiap kali Merapi Erupsi

|
Penulis: Tri Widodo | Editor: Aji Bramastra
TribunSolo.com/Tri Widodo
Warga berjalan di Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali saat hujan abu Merapi, Sabtu (11/3/2023). Warga tampak santai, meski hujan abu semakin tebal. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Desa Tlogolele di Boyolali, yang hanya berjarak beberapa kilometer saja dari puncak Merapi, jadi salah satu daerah yang terdampak erupsi Merapi

Hujan abu mengguyur desa di mana warganya mayoritas hidup sebagai petani ini.

Baca juga: Cuma Berjarak 5 KM dari Puncak Merapi, Siswa SDN 2 Tlogolele Tetap Sekolah : Tak Terganggu Hujan Abu

Ada mitos di sini soal hubungan 'mesra' warga dengan Gunung Merapi.

Meski Merapi sudah erupsi dan desa mereka jadi putih karena hujan abu, tapi tak ada satu pun yang berani membunyikan kentongan tanda bahaya.

Warga Desa Tlogolele dan sekitarnya percaya satu mitos, membunyikan kentongan saat Merapi batuk, malah bisa mengundang bahaya.

Mereka percaya suara kentongan itu malah bisa membuat merapi marah.

Darno (42) dari Dukuh Takeran, Tologolele, mengatakan kepercayaan masyarakat, yang mengisahkan hal itu.

Menurut Darno, kepercayaan itu sampai saat ini masih dipegang teguh masyarakat.

"Tidak ada yang berani membunyikan Kentongan saat erupsi," ujarnya, kepada TribunSolo.com, Senin (13/3/2023).

Darno mengatakan, mitos yang turun menurun hingga kini di kalangan warga ini berawal dari peristiwa erupsi Merapi sekitar tahun 1954.

Saat Merapi erupsi,  warga memukul kentongan agar sesama yang lain segera menyelamatkan diri.

Tapi yang terjadi, warga justru dikejar oleh lahar dan awan panas.

Peristiwa ini dirasa janggal oleh warga, mengingat aliran lahar Merapi tak bisa mendekati desa tersebut.

"Padahal, seharusnya aliran dari puncak itu mengalir ke Kali Apu. Bukan ke perkampungan warga. Tapi setelah membunyikan kentongan itu, lahar dan awan panas malah mengarah warga," kata Darno.

Sejak saat itu, mitos kentongan itu muncul.

Hingga kini, warga tak lagi berani membunyikan kentongan setiap kali terjadi erupsi Merapi.

"Makna lainnya, setiap terjadi erupsi, warga tidak boleh riuh. Meskipun dalam bahaya, warga harus tetap tenang,"

"Evakuasi ya evakuasi. Tapi tetap tenang. Tidak ada yang teriak-teriak dalam kepanikan," pungkasnya. (*) 

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved