Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Solo

Sakral, Begini Potret Kirab Malam Selikuran Ramadan Keraton Solo, Dipimpin Langsung PB XIII

Perayaan malam selikuran Keraton Solo terlihat sakral. Perayaan ini dipimpin langsung oleh Paku Buwono (PB) XIII.

TribunSolo.com/Andreas Chris
Malam Lailatul Qadar juga diperingati oleh salah satu kerajaan Islam yang masih eksis di Tanah Jawa yakni Keraton Kasunanan Surakarta. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Andreas Chris Febrianto Nugroho

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Keraton Kasunanan Surakarta masih menjaga tradisi mereka yakni peringatan malam ke-21 di bulan ramadan. 

Dalam peringatan tersebut digelar Kirab Malam Selikuran Ramadan

Peringatan tersebut jatuh pada Minggu (31/3/2024). 

Keraton Kasunanan Surakarta mengadakan kirab bertajuk Hajad Dalem Malam Selikuran Pasa Tahun Jimawal 1957.

Kirab yang dipimpin langsung oleh Paku Buwono (PB) XIII tersebut dimulai dari Keraton Kasunanan Surakarta dan berakhir di Taman Sriwedari. 

Dari pantauan TribunSolo.com, kirab dimulai dari Sitinggil menuju alun-alun Utara yang kemudian menyusuri jalan Slamet Riyadi menuju Taman Sriwedari.

Kirab juga diikuti oleh keluarga kerajaan serta ratusan abdi dalem dan disaksikan ribuan masyarakat yang telah menanti di sepanjang jalan Slamet Riyadi.

Sementara itu, usai kirab juga diadakan pengajian di area taman Sriwedari.

Baca juga: Proses Berbelit, Gapura Keraton dr. Oen Kandang Sapi Solo Tak Kunjung Dibenahi

Pengageng Perentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPH Dipokusumo menjelaskan, bahwa kirab memperingati malam Lailatul Qadar ini merupakan inisiasi dari PB XIII untuk melestarikan tradisi yang telah berlangsung sejak PB X.

"Jadi malam ini merupakan hajad dalem malam selikuran untuk memperingati tumurining (turunnya) Lailatul Qadar. Seperti pesan dari PB XIII, Keraton Surakarta melestarikan tara cara adat tradisi ini, dimana malam selikuran yang isinya sentir, lampion, dan juga tumpeng Sewu yang memaknai turunnya malam Lailatul Qadar yang seindah seribu bulan," ujar Dipokusumo saat ditemui di sela Kirab.

Sesampainya di Taman Sriwedari, arak-arakan berupa tumpeng Sewu dan sejumlah makanan tersebut akan diserahkan untuk kemudian didoakan dan selanjutnya dibagikan kepada masyarakat.

"Nanti dibawa ke taman Sriwedari yang kemudian diterima oleh Imam Masjid Agung Solo dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk didoakan dan kemudian dibagikan kepada masyarakat," kata dia.

Sementara itu, saat ditanya terkait makna dari sejumlah benda yang ikut diarak seperti Ting atau sentir dalam kirab.

Dipokusumo menjelaskan hal itu sebagai simbol atau gambaran seribu bulan dan bintang yang ada dalam Al Qur'an ketika malam Lailatul Qadar turun.

"Kalau Ting dan lampion itu dulu di sekitar keraton itu masih belum ada listrik. Jadi dulu penduduk-penduduk waktu itu supaya membuat lampion tapi juga sebagian lampion itu disertakan kirab seperti seribu bulan dan bintang yang artinya malam penuh dengan berkah dan rahmat sesuai seperti malam Lailatul Qadar," urainya.

Dalam kesempatan ini, Dipokusumo juga sedikit menyinggung terkait tradisi yang telah berjalan pulihan tahun tersebut.

"Dimulai sejak PB X, karena waktu itu setiap malam Lailatul Qadar hanya diselenggarakan dari Keraton sampai Masjid Agung. Kemudian muncul seperti pasar malam. Karena pasar malam sudah ada di sini yaitu Sekaten setiap Maulid Nabi," sebutnya.

Bahkan menurut Dipokusumo, Malam Selikuran ini juga menjadi salah satu latar belakang adanya pesta rakyat yang sering disebut maleman di Taman Sriwedari sejak masa PB X yang sempat eksis sampai awal tahun 2000-an.

"Kemudian setelah ada Taman Sriwedari, maka kegiatan ini dilanjutkan dari keraton menuju taman Sriwedari," pungkasnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved