Polemik Gelar Profesor Kehormatan
Di Solo, Dewan Guru Besar Tuntut Gelar Profesor Kehormatan Dihapuskan: Tidak Jelas Sumbangsihnya
MDGB PTNBH menuntut agar gelar profesor kehormatan dihapuskan. Ini atas penilaian banyak yang kurang pas dalam menyandang gelar itu.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Ryantono Puji Santoso
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (MDGB PTNBH) menuntut gelar profesor kehormatan dihapuskan.
Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan hal ini lantaran mereka mendapat gelar tersebut tak jelas sumbangsihnya bagi ilmu pengetahuan.
“Mereka tidak jelas apa yang menjadi achievement-nya keberhasilannya tapi tetap bisa mendapatkan gelar profesor,” ungkapnya usai menggelar pertemuan di Ballroom UNS Tower, Jumat (8/11/2024).
Pemberian gelar profesor kehormatan tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021.
Peraturan ini diperbarui lagi pada Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024.
Peraturan ini memuat tentang pemberian gelar kehormatan, khususnya gelar profesor.
Dalam Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024, pemberian gelar profesor kehormatan dibatasi dan prosedur pengangkatannya diperketat.
Baca juga: 3 Rekomendasi Kuliner yang Enak Dekat Kampus UNS Solo Jateng, Ada Rica hingga Ayam Penyet
Meski begitu, Harkristuti menilai mereka yang mendapat gelar profesor kehormatan diragukan kelayakannya untuk menyandang gelar ini.
“Kami berpandangan akhir-akhir ini banyak sekali gelar kehormatan profesor yang diberikan harusnya kan ada kriterianya. Yang bersangkutan sudah memberikan sumbangan yang luar biasa pada bidang ilmu tertentu sehingga dia layak mendapatkan professorship. Tapi ternyata yang kita lihat tidak seperti itu,” ungkapnya.
Selain itu, profesor merupakan jabatan akademik yang didapat dengan usaha yang tidak mudah.
“Padahal profesor adalah suatu jabatan akademik yang kami akademisi ini peroleh dengan berdarah-darah. Syaratnya berat tidak semua orang bisa menjadi profesor,” tuturnya.
Di sisi lain, banyak pejabat yang bisa mendapat gelar profesor kehormatan dengan tanpa melalui proses seperti yang dilakukan para akademisi.
Ia pun menuntut agar peraturan yang memuat pemberian gelar profesor kehormatan dihapuskan.
“Tapi kalau pejabat di luar kok sepertinya lebih mudah. Itu yang menjadi komplain kami. Tergantung menterinya mudah-mudahan menteri yang baru punya pikiran yang jernih,” jelasnya.
Ketua Dewan Profesor Universitas Sebelas Maret (UNS) Suranto Tjiptowibisono menambahkan proses pemberian gelar yang tidak melalui dewan guru besar maupun senat akademik membuatnya sulit dipertanggungjawabkan.
“Untuk mendapatkan guru besar kehormatan tidak perlu pertimbangan senat akademik dan dewan profesor dan itu mutlak kewenangan rektor. Itu yang agak tidak biasa,” tuturnya. (*)
Technopark Batal Jadi Kelas Sementara, Bagaimana Nasib Calon Siswa Sragen Pendaftar Sekolah Rakyat? |
![]() |
---|
Haru Bupati Hamenang Hadiri Jambore Pramuka Anak Berkebutuhan Khusus, Bawa Semangat Klaten Inklusif |
![]() |
---|
Ajang MTA 2025: CEO Tribun Network Dahlan Dahi Dinobatkan sebagai Tokoh Media Berpengaruh |
![]() |
---|
Sosok Mbah Dirjo, Warga Ngemplak Tewas Terjatuh saat Pasang Atap di Solo, Usia 88 Tahun Masih Nukang |
![]() |
---|
Pindah Buku Semudah Potong Kuku |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.