Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Wisata di Solo

Kisah Dibangunnya Benteng Vastenburg Solo oleh Kolonial Belanda untuk Awasi Keraton Solo

Vasteburg awalnya diberi nama Fort De Grootmoedigheid. Vasteburg sendiri berarti istana yang dikelilingi tembok kuat. 

Penulis: Tribun Network | Editor: Rifatun Nadhiroh
TRIBUNSOLO.COM
WISATA DI SOLO - Benteng Vastenburg di kawasan Gladag, Solo, Jateng, dijepret pada awal Juni 2016. 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Vastenburg adalah salah satu dari 275 benteng yang dibangun Kolonial Belanda di awal keberadaannya di Nusantara.

Benteng Vastenburg didirikan Gubernut Jenderal Baron Van Imhoff tahun 1775 hingga 1779 atau 32 tahun setelah berdirinya Keraton Surakarta yang menjadi pusat Kerajaan Mataram baru. 

Dikutip dari uns.ac.id, Vastenburg awalnya diberi nama Fort De Grootmoedigheid. 

Baca juga: Tak Bisa Hanya Andalkan Vastenburg, Pelaku Wisata Batik Kauman Solo Desak Kantong Parkir Diperbanyak

Vastenburg sendiri berarti istana yang dikelilingi tembok kuat. 

Bangunan tersebut digunakan pasukan Belanda untuk mengawasi aktivitas Keraton Surakarta sejak Pemerintahan Paku Buwono III. 

Hal tersebut diperkuat dengan lokasinya yang berada di antara Keraton Kasunan Surakarta dengan rumah Gubernur Belanda. 

Bahkan disebutkan dulu terdapat satu meriam kuno yang diarahkan tepat ke keraton.

Selain itu, penempatan benteng di lokasi tersebut untuk memecah tiga teritori yakni perkampungan Arab di sebelah barat, perkampungan Cina di sebelah utara-timur dan keraton di sebelah selatan. 

Ada ketakutan dari pihak VOC, ketiga kekuatan tersebut bergabung dan mengancam hegomoni VOC. 

Bentuk Benteng Vastenburg sama dengan dengan benteng-benteng lain yang dibangun Belanda yakni bujur sangkar dengan ujung terdapat ruangan yang sama untuk tekhnik peperangan yang disebut seleka (bastion).

Pintu masuk berada di barat dan timur dengan jembatan jungkit.

Bangunan juga terdiri dari beberapa barak yang terpisah. 

Baca juga: Sejarah Dibangunnya Masjid Agung Keraton Surakarta, Ada Alasan Mengapa Dekat Pasar Klewer

Sementara di tengah, terdapat lahan terbuka yang cukup luas untuk pasukan dan apel bendera.

Pada tahun 1942, Belanda menyerahkan benteng tersebut ke tentara Jepang bernama T Maze. 

Lalu pada tahun 1945, saat Indonesia merdeka, Benteng Vasteburg jatuh ke pangkuan Indonesia dan dimiliki oleh pihak sipil. 

Hingga tahun 1986, benteng tersebut ditempat oleh TNI selaku Badan Pertanahan dan Keamanan RI. 

Pada tahun 1970 hingga 1980-an, benteng ini kerap digunakan untuk pelatihan keprajuritan dan pusat Brigadir Infantri 6/Trisakti Baladaya/Kostrad untuk wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.

Tahun 1986, Wali Kota Hartomo memindahkan Kompi Brigrif Kostrad ke lahan yang lebih luas. 

Lalu Hartomo berinisiatif tanah di sekitar benteng harus dikelola oleh investor swasta karena Pemkot membutuhkan dana untuk untuk pemindahan Brigif Kostrad. 

Lalu pada tahun 1991 dilakukan proses tukar guling dengan pihak swasta hingga terkapling-kapling dengan kepemilikan lima instansi yang berbeda. 

Baca juga: Siapa yang Membuat Ketupat Pertama Kali di Indonesia? Ini Sejarah Ketupat Jadi Makanan Khas Lebaran

Berdasarkan Laporan Studi Arkeologis yang disusun BP3 Jateng, kawasan tersebut dikuasai lima investor swasta yakni PT Benteng Gapuratama, PT Benteng Perkasa Utama, Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Bank Danamon dan sisanya dimiliki perseorangan.

PT Benteng Gapuratama, perusahaan milik Robby Sumampauw tercatat memiliki sebagian besar lahan di dalam benteng dan juga beberapa area di luar benteng.

Sementara itu Karolus Kale (80), penjaga Benteng Vastenburg menceritakan kepemilikan lahan di kawasan tersebut.

Karolus sendiri mengaku telah menjaga kawasan Benteng Vasteburg sejak 8 Mei 1990. Ia adalah pensiunan tentara dengan pangkat terakhir sebagai Sersan Kepala (Serka).

"Saya tentara Brigif 6 itu, saya pensiunan Sersan Kepala (Serka), terakhir saya bagian intel. Saya sekolah intelnya di Magelang sana. Makanya saya tahu sejarahnya benteng ini bukan milik perorangan," sebutnya.

Kala itu ia bertugas sebagai keamanan yang mengawasi lahan 13 hektare. "Saya itu sebagai keamanan mengawasi 13 hektar. 

Dulu dipegang saya sepenuhnya. Tahun 1990 tanggal 8 Mei," kata dia. 

Karolus mengaku mendukung peniyitaan karena kawasan tersebut sangat bersejarah dan seharusnya menjadi kepemilikan pemerintah bukan perorangan

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved