Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Viral Ayam Goreng Non Halal di Solo

Konsumen Berhak Menggugat : Polemik Ayam Goreng Widuran Solo, Diduga Langgar Hak Konsumen

Konsumen memiliki hak penuh untuk menggugat pihak restoran secara hukum apabila merasa dirugikan.

Penulis: Tribun Network | Editor: Putradi Pamungkas
KOMPAS.com/LABIB ZAMANI
KULINER NON HALAL- Rumah makan legendaris ayam goreng Widuran yang berdiri sejak tahun 1973 di Jalan Sutan Syahrir Kelurahan Kepatihan Kulon, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah, Senin (26/5/2025). Restoran legendaris Ayam Goreng Widuran di Kota Solo bisa menuai sanksi serius setelah terungkap produk mereka tidak halal tanpa pemberitahuan jelas kepada konsumen.  

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Putradi Pamungkas

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kasus viral yang menimpa restoran legendaris Ayam Goreng Widuran di Kota Solo memunculkan perdebatan hangat soal perlindungan konsumen dan kehalalan produk makanan.

Restoran tersebut diduga menyajikan makanan non-halal tanpa memberikan informasi yang jelas kepada konsumen.

Akibatnya, banyak konsumen, khususnya yang beragama Islam. merasa dirugikan dan tertipu.

Kejadian ini menjadi sorotan luas setelah seorang pelanggan menulis ulasan di Google Review pada akhir Mei 2025.

Dalam ulasan tersebut, pelanggan mengungkapkan bahwa ayam goreng yang ia santap ternyata tidak halal, berdasarkan konfirmasi langsung dari karyawan restoran yang menyebutkan penggunaan minyak babi dalam proses pengolahan.

Ulasan tersebut menyebar cepat di media sosial dan memicu gelombang protes dari masyarakat.

Banyak pelanggan, terutama umat Muslim, mengaku kecewa karena selama ini mengira restoran tersebut menyajikan makanan yang halal.

Pelanggaran Hak Konsumen dan Potensi Gugatan Hukum

Menurut pakar hukum bisnis dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dr. Dona Budi Kharisma, S.H., M.H., konsumen memiliki hak penuh untuk menggugat pihak restoran secara hukum apabila merasa dirugikan.

Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk atau jasa yang dikonsumsi.

“Sebetulnya, hal ini membuka ruang hukum bagi konsumen. Tidak hanya secara individu, tetapi bisa juga dilakukan melalui organisasi keagamaan atau masyarakat. Mereka bisa melaporkannya ke pihak berwajib,” ujar Dona dalam Podcast Tribun Solo, Selasa (3/6/2025).

SOROTI KISRUH AYAM WIDURAN : Dosen Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Dr. Dona Budi Kharisma, S.H., M.H ditemui usai berbincang dalam program Podcast Tribun Solo di gedung Tribunnews, belum lama ini. Dona mengatakan, kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh pelaku usaha makanan untuk mematuhi regulasi yang berlaku.
SOROTI KISRUH AYAM WIDURAN : Dosen Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Dr. Dona Budi Kharisma, S.H., M.H ditemui usai berbincang dalam program Podcast Tribun Solo di gedung Tribunnews, belum lama ini. Dona mengatakan, kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh pelaku usaha makanan untuk mematuhi regulasi yang berlaku. (TRIBUNSOLO.COM/Putradi Pamungkas)

Meski hingga kini belum ditemukan unsur pidana oleh pihak kepolisian, Dona menegaskan bahwa proses hukum tetap memungkinkan, terutama bila ditemukan unsur kelalaian atau kesengajaan dalam menyembunyikan informasi penting bagi konsumen.

“Masih dibutuhkan pembuktian melalui sejumlah pemeriksaan untuk mengetahui bagaimana status hukum kasus ini. Kita tunggu bagaimana langkah Pemkot Solo ke depannya,” tambahnya.

Potensi Sanksi Pidana

Selain pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen, Dona juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Dalam UU tersebut ditegaskan, seluruh produk yang beredar di Indonesia wajib memiliki sertifikasi halal.

Lebih jauh, Pasal 26 ayat (2) mengatur bahwa jika suatu produk tidak halal, maka pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk tersebut secara jelas.

“Jika pelaku usaha melanggar Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen, mereka dapat dikenai sanksi pidana dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp2 miliar, serta sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha,” tegas Dona.

Baca juga: Di Tengah Heboh Ayam Goreng Widuran Solo : Penutupan Sementara Berujung Penyisiran Restoran Lain

Ia menambahkan, banyak pelaku usaha yang belum memahami pentingnya sertifikasi halal.

Padahal hal ini tidak hanya melindungi konsumen.

Tetapi juga meningkatkan daya saing produk di pasar domestik dan global, terutama dengan meningkatnya kesadaran terhadap produk halal.

Peran Pemerintah, Pelaku Usaha, dan Masyarakat

Untuk menghindari kejadian serupa, Dona memberikan sejumlah rekomendasi bagi semua pihak.

Pemkot Solo perlu meningkatkan peran Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) BPSMB Surakarta dalam melakukan inspeksi dan audit berkala terhadap produk makanan yang beredar di wilayahnya.

Pelaku usaha harus segera mengurus sertifikasi halal jika belum memilikinya. Bila produk yang dijual tidak halal, maka informasi tersebut harus ditampilkan secara transparan. Baik pada kemasan, banner, backdrop restoran, maupun website resmi.

Organisasi keagamaan dan masyarakat sipil juga diharapkan aktif mengedukasi masyarakat dan pelaku usaha mengenai pentingnya kehalalan produk, sebagai bagian dari penguatan kontrol sosial.

Masyarakat konsumen juga diimbau lebih aktif dan kritis dalam mencari informasi kehalalan suatu produk sebelum membeli atau mengonsumsinya.

“Ini penting untuk membentuk kontrol sosial dari masyarakat terhadap pelaku usaha. Konsumen juga harus berani bertanya dan mengecek,” ujar Dona.

Respons Manajemen dan Kondisi Terkini

Pihak manajemen Ayam Goreng Widuran akhirnya mengakui bahwa mereka menggunakan minyak babi dalam proses memasak.

Namun, pengakuan ini baru disampaikan setelah kasus ini viral dan mendapat sorotan luas. 

Keterlambatan ini memperburuk citra restoran yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu tempat makan legendaris di Kota Solo.

Seperti diketahui, kasus ini mencuat pada akhir Mei 2025 ketika seorang pelanggan menulis ulasan di Google Review yang menyatakan bahwa ayam goreng di restoran tersebut tidak halal. 

Pelanggan tersebut mengaku telah mengkonfirmasi langsung kepada karyawan restoran bahwa makanan yang disajikan tidak halal. 

Informasi ini kemudian menyebar luas di media sosial dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

Beberapa konsumen mengaku kecewa dan merasa dirugikan karena tidak adanya informasi yang jelas mengenai status kehalalan Ayam Goreng Widuran.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved