Kebun Rania : Ikhtiar Ibu Muda di Boyolali Ajak Anak-anak Baca Buku & Bermain Permainan Tradisional

TribunSolo.com berkesempatan mendatangi Kebun Rania di Dukuh Jetis, Desa Sawahan, Kecamatan Ngemplak.

Penulis: Tri Widodo | Editor: Hanang Yuwono
TRIBUNSOLO.COM/TRI WIDODO
PAHLAWAN LITERASI - Dyah Bodrohini memperlihatkan salah satu koleksi bukunya di Kebun Rania di Dukuh Jetis, Desa Sawahan, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Ibu satu anak ini punya mimpi besar agar anak -anak tak terus-menerus main HP. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo 

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Berbagai upaya terus dilakukan baik pemerintah maupun masyarakat yang prihatin dengan minat baca di Indonesia yang tergolong masih rendah.

Salah satunya adalah Dyah Bodrohini, seorang perempuan yang memiliki hobi membaca dan mengoleksi buku ini.

Ibu satu anak ini punya mimpi besar agar anak -anak tak terus-menerus main HP.

Dirinya pun membuat perpustakaan mandiri bernama Kebun Rania.

TribunSolo.com berkesempatan mendatangi Kebun Rania di Dukuh Jetis, Desa Sawahan, Kecamatan Ngemplak.

Berbekal peta pada  aplikasi, tak sulit untuk menemukan alamat Kebun Rania ini.

Lokasi tak jauh dari Solo, atau tepatnya di belakang Kantor Tribun Solo.

Dinding depan belum di plaster.

Sebuah papan sederhana di depan rumah bertuliskan:

 “Selamat Datang di Kebun Rania – Mari Membaca dan Bermain”.

Dyah Bodrohini, pemilik perpustakaan itu, sudah berdiri di pintu. 

Tubuhnya kecil, tapi lincah. Senyumnya lebar, menyiratkan keramahan yang tulus.

“Silakan masuk, Mas,” katanya sambil mempersilakan saya melepas alas kaki.

Dyah Bodrohini beraktivitas di Kebun Rania
PAHLAWAN LITERASI - Dyah Bodrohini beraktivitas di Kebun Rania di Dukuh Jetis, Desa Sawahan, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Ibu satu anak ini punya mimpi besar agar anak -anak tak terus-menerus main HP.

Empat Rak Buku di Ruangan Kecil

Begitu masuk, TribunSolo.com langsung disambut pemandangan empat rak buku yang berjajar rapi menempel di dinding. 

Rak pertama berisi buku dongeng anak-anak dengan sampul warna-warni. 

Rak kedua lebih serius: ensiklopedia mini, buku pengetahuan alam, atlas, bahkan buku motivasi remaja. 

Rak ketiga penuh dengan buku bacaan umum—novel, biografi, buku sejarah.

Rak keempat agak berbeda: isinya aneka boneka, mainan anak dan pernak pernik.

Aroma khas kertas dan kayu dari rak bercampur menjadi satu, menghadirkan suasana yang menenangkan.

Di tengah ruangan ada meja bundar kecil dengan empat kursi mungil mengelilinginya.

Kursi-kursi itu jelas dibuat untuk anak-anak, ukurannya rendah dengan cat warna biru dan hijau cerah. 

Di pojok ruangan ada karpet hijau dan beberapa bantal kecil, tempat favorit anak-anak untuk membaca sambil rebahan.

“Ini semua awalnya koleksi pribadi, Mas. Lama-lama kok jadi banyak,” kata Dyah sambil tersenyum.

Teras rumah pun menjadi arena bermain. 

Ada bakiak kayu yang disandarkan ke dinding, sepasang egrang kecil, dan beberapa permainan tradisional lain seperti congklak, kelereng, hingga bekel yang disimpan di kotak plastik.

“Biar anak-anak tidak hanya membaca, tapi juga bergerak. Saya ingin mereka betah,” jelas Dyah sambil menata bakiak.

Tak lama kemudian, beberapa anak datang. 

Mereka melepas sandal, lalu terbagi dua: sebagian menuju rak buku, sebagian lagi langsung menyerbu teras. 

Suara tawa pecah saat dua bocah mencoba berjalan dengan bakiak dan hampir terjatuh.

“mbak, susah banget ini!” teriak salah satu dari mereka sambil tertawa.

“Pelan-pelan, jangan buru-buru,” sahut Dyah sambil mendekat untuk memberi arahan. 

Gerakannya lincah, seperti sudah terbiasa mengajar anak-anak bermain.

Suasana yang Tenang dan Nyaman

Di dalam rumah, suasana berbeda: tenang, nyaris hening. 

Seorang bocah perempuan duduk di kursi kecil di samping meja bundar, sibuk membalik halaman buku cerita bergambar. 

Dua bocah lain duduk di karpet, salah satunya tengkurap sambil membaca buku dinosaurus.

TribunSolo.com memilih duduk di kursi dekat jendela.

Dari situ terlihat halaman belakang dengan beberapa pohon mangga yang rimbun.

Suara burung kecil sesekali terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin damai.

“Konsepnya memang harus seperti rumah, Mas. Anak-anak biar nyaman. Kalau kaku, seperti di sekolah, mereka malah malas ke sini,” kata Dyah sambil merapikan buku yang baru saja dikembalikan anak-anak.

Dyah mengaku, dulu ia bukan pembaca buku. 

Ia bahkan malas menyentuh buku.

Tapi satu berita di televisi awal 2022 mengubah segalanya.

“Di berita itu disebutkan, dari seribu anak Indonesia, cuma satu yang suka baca buku,” ucapnya, suara sedikit mengecil seakan mengulang rasa terkejut yang dulu ia rasakan.

Sejak saat itu ia bertekad: anaknya yang berusia lima tahun harus jadi satu dari seribu itu. 

Ia mulai sering mengajak anaknya ke perpustakaan, membeli buku, hingga koleksinya memenuhi rumah.

Kini jumlah buku di Kebun Rania mencapai 3.000 eksemplar. 

Sebagian dibeli sendiri, sebagian merupakan sumbangan dari orang-orang yang mendukung niatnya.

“Alhamdulillah, sekarang setiap Sabtu-Minggu ramai keluarga datang. Hari biasa sore juga banyak anak-anak,” jelas Dyah sambil mengamati dua bocah yang asyik main congklak di teras.

Menjelang temaram, suara azan  mulai terdengar sayup dari kejauhan. 

Anak-anak mulai menutup buku, beberapa mengembalikan mainan ke tempatnya. 

Ia menambahkan, selain di rumahnya, juga membuat kegiatan di luar.

Seperti di car-free day dan taman-taman bermain lainnya.

Biasanya selain membawa buku, ia juga membuat permainan tradisional seperti hompipah, mainan ular tangga, dakocan dan lainnya.

(*)
 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved