Lahan tersebut berisi pohon-pohon kering dengan jumlah bermeter-meter kubik dan sebagian pohon-pohon besar serta savana.
"Saya hanya buat sekat, tidak berani memadamkan dengan ranting pohon, karena apinya besar. Kalau kena angin tingginya bisa melebihi saya. Sisa kebakaran diinjak-injak pakai sepatu juga susah sekali padamnya," kata Sumo.
Setelah bekerja seharian, Sumo akhirnya dapat bernafas lega setelah tim berikutnya tiba pada petang hari.
Sumo bersama rekan-rekan yang lain sekitar pukul 18.00 WIB turun dan tiba di rumah sekitar pukul 23.00 WIB.
"Waktu berangkat tidak terasa capek, yang penting cepat sampai. Setelah sampai, baru membayangkan gimana pulangnya harus melewati tiga punggungan. Pulangnya cepat, seperti lari pokoknya, saya sama anggota yang lain disuruh di tengah, kasihan mungkin," ujar Sumo.
Moro, anak ketiga Sumo mengaku sempat khawatir dengan kondisi fisik bapaknya.
Meski hafal medan kawasan hutan, namun Sumo kini sudah berusia lanjut dan anggota tim yang berangkat bersama Sumo usianya jauh di bawahnya.
• Kebakaran Gunung Slamet Terus Meluas Hingga Banyumas
Sementara itu, Bendahara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gempita Desa Ketenger, Rasim menurunkan, warga setempat sudah terbiasa naik turun Gunung Slamet.
"Warga sini sudah biasa naik turun gunung, sudah biasa jadi relawan. Kalau ada kebakaran, orang Perhutani pasti minta bantuan ke sini, warga sini semangatnya luar biasa untuk melestarikan alam di sekitar gunung," kata Rasim.
Seperti diketahui, kebakaran hutan Gunung Slamet di wilayah Kabupaten Brebes meluas ke Kabupaten Banyumas sejak Kamis (19/9/2109). Hingga Selasa (23/9/2019) terpantau masih terdapat empat titik api. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Kakek 75 Tahun Ikut Padamkan Kebakaran Gunung Slamet, Jalan Kaki 10 Jam dan Makan Sekali Sehari"
Penulis : Kontributor Banyumas, Fadlan Mukhtar Zain