"Saya ya tidak punya. Tidak punya rumah tidak punya apa-apa. Di sini mata pencahariannya di sini semua. Kalau dipindah ya susah," tuturnya.
"Sendiri. Saudara di kampung semua. Pada punya rumah. Saya sendiri tidak punya rumah. Anak saya 4 sudah keluarga semua," jelasnya.
Di rusunawa ini pun ia masih harus berjuang untuk bertahan hidup.
Harga sewa memang cukup terjangkau. Namun tarif listrik menurutnya masih berat.
Baca juga: Gibran Akan Usir Ratusan Penghuni Rusunawa Solo, Alasannya Ada yang Punya Rumah dan Mobil
"Harga sewa Rp 100.000. Listriknya yang mahal. TV, kulkas, kipas angin. Sekarang saya sendirian Rp 100.000," ungkapnya.
Ia pun berharap masih bisa menempati rusunawa ini.
"Kalau saya kalau bisa seterusnya tidak pindah. Seumpamanya ya tidak tahu juga," tuturnya.
Jika harus pindah, harga sewa di hunian komersial sangat mencekik.
Apalagi ia harus kehilangan mata pencaharian.
"Nyari kontrakan juga susah. Satu bulan Rp 500-Rp 600 sepetak. Bahkan Rp 1 juta. Kaya aku apa ya kuat. Tidak bisa cari makan di sini," ungkapnya.
Ia sendiri mengakui ada beberapa orang yang perlu dipertanyakan keabsahannya menghuni rusunawa ini.
Pasalnya, mereka punya mobil sehingga sulit dikategorikan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Ada mobil 2 orang. Tidak semua orang punya mobil," terangnya.
(*)