Polemik Festival Kuliner Non Halal

Viral Penolakan Kuliner Non Halal di Solo Jateng, Padahal Tionghoa Berperan Penting di Kuliner Solo

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Festival kuliner non-halal “Pecinan Nusantara” di Solo Paragon Mall sempat menuai penolakan oleh sejumlah kelompok islam, kini dipasang sekat.

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Festival kuliner non-halal “Pecinan Nusantara” di Solo Paragon Mall sempat menuai penolakan oleh sejumlah kelompok islam. Padahal, Sejarawan Heri Priyatmoko menjelaskan kuliner tionghoa memiliki peran penting dalam khazanah kuliner nusantara, termasuk di Solo.

Bahkan, di sekitar Kampung Widuran pinggiran Sungai Pepe, muncul sejumlah peternakan babi untuk memenuhi kebutuhan warung-warung di Pasar Gedhe sekitar tahun 1880. Saat itu kampung di sekitar situ disebut Kampung Baben.

“Daging babi diperoleh para koki, ibu rumah tangga maupun pengusaha restoran dengan melangkahkan kaki ke Pasar Gedhe. Kultur bersantap daging babi kala itu tidak mengalami  penolakan di Surakarta,” jelasnya saat dihubungi Sabtu (6/7/2024).

Baca juga: 5 Rekomendasi Warung Sate Babi di Solo Jateng, Biasanya Ramai Dikunjungi di Jam Makan Siang

Kuatnya pengaruh budaya Tionghoa dalam jagad kuliner ditunjukkan dengan banyaknya warung Tionghoa di daerah Pecinan.

Pengaruh tersebut berhasil merembes ke beberapa titik di pinggiran kota, bahkan sejumlah angkringan menjajakan daging babi yang siap dibakar untuk memanjakan lidah konsumen.

Selain itu, ada salah satu buku resep yang ditulis oleh seorang putri China. Buku ini diterbitkan sekitar tahun 1930.

Uniknya, masakan ini dibubuhi embel-embel “model Solo”, sama sekali tidak menonjolkan terminologi  “Cina”.

“Kenyataan historis ini memperjelas meleburnya budaya Tionghoa dalam kehidupan sosial lintas suku, meski mereka direken sebagai kelompok minoritas atau out group. Mencatat aneka resep adalah sebentuk kesadaran literasi kaum Tionghoa,” jelasnya.

Baca juga: Gibran Bakal Dilantik Jadi Wakil Presiden, Intip Rumah Gibran di Kota Solo Jateng Kini Mulai Sepi

Usaha tersebut bukan saja mencegah lenyapnya hasil olahan dapur tersebut, namun juga menyelamatkan unsur pengetahuan untuk terus diwariskan pada generasi mendatang.

Maka tidak heran, banyak makanan Tionghoa yang diadopsi oleh orang-orang jawa dengan modifikasi tertentu.

Salah satunya Timlo yang dimodifikasi dari Kimlo yang mengganti daging babi dengan daging yang halal.

“Kuliner hasil kreasi ini ternyata sanggup bertahan, bahkan mampu melewati gempuran rezim masa lalu yang terkenal represif terhadap budaya Tionghoa di Indonesia. Kita tak boleh menutupi realitas sejarah ini bahwa timlo dilahirkan dalam pengaruh ekologi budaya masyarakat pecinan,” paparnya.

Bahkan, makanan oleh-oleh yang cukup ikonik, Serabi Notosuman menurutnya tidak lepas dari komunitas peranakan Tionghoa.

Dulu serabi sempat dijuluki Apem Cina.

“Dari penggalian sejarah lisan, terkuak bahwa serabi Notosuman dijual keluarga Tionghoa sejak permulaan abad XX. Makanan ringan yang dijuluki Apem Cina ini digarap dengan mengandalkan resep keluarga,” jelasnya.

Baca juga: 5 Rekomendasi Resto AYCE All You Can Eat di Kota Solo Jateng, Nomor 2 Favorit Anak Muda

(*)

Berita Terkini