Fakta Menarik Tentang Klaten
Sejarah Beras Rojolele Delanggu Klaten: Namanya dari Paku Buwono II, Tak Ada Kaitan dengan Ikan Lele
PB II memberi nama beras tersebut Rojolele yang bermakna rakyat bersama raja.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
TRIBUNSOLO.COM, KLATEN - Beras Rojolele merupakan varietas beras yang sudah lama menjadi kebanggaan masyarakat Kecamatan Delanggu, Klaten.
Nama "Rojolele" sendiri dipercaya diberikan oleh Sinuhun Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono II, saat beliau melakukan kunjungan atau tedhak dalem ke daerah tersebut.
Menurut cerita yang turun-temurun, ketika PB II dan pengawalnya bertemu para petani yang sedang menanam padi jenis wulu, sang raja ikut membantu menanam bersama para thole-thole (pemuda).
Baca juga: Sejarah Cabuk Rambak, Kuliner Legendaris dari Kreatifitas Warga Solo Manfaatkan Bahan Sederhana
Dari peristiwa itu, PB II memberi nama beras tersebut "Rojolele" yang bermakna “rakyat bersama raja”, dengan kata “lele” diambil dari kata thole-thole, bukan ikan lele seperti yang sering disalahpahami.
Kisah dan warisan budaya ini kembali ditegaskan oleh masyarakat Delanggu lewat acara kirab budaya dan ritual adat wiwitan pada Festival Mbok Sri Mulih, yang berlangsung pada akhir Oktober 2022.
Festival ini mengangkat tema “Rojolele, Simbol Budaya Agraris Masyarakat Delanggu Kini dan Nanti.”
Inisiator festival sekaligus pendiri Sanggar Rojolele, Eksan Hartanto, menekankan pentingnya menjaga warisan padi Rojolele sebagai simbol dan sumber penghidupan warga Delanggu.
Baca juga: Sejarah Tempe Gembus, Kuliner Legendaris Solo Raya yang Pernah jadi Penyelamat saat Krisis Pangan
Delanggu dikenal memiliki lahan pertanian seluas 69 hektar, sekitar 50 persen dari total wilayah desa, yang kini sebagian petani kembali menanam varietas Rojolele Srinuk.
Kerjasama dengan mitra usaha memungkinkan hasil panen beras Rojolele mencapai pasokan 12-14 ton per bulan, membuktikan keberlangsungan dan permintaan produk ini.
Keistimewaan dan Tantangan Beras Rojolele
Keunggulan beras Rojolele tidak hanya pada citarasa yang pulen dan wangi, tapi juga kualitas tanah dan air di Delanggu yang berasal dari lereng Gunung Merapi, yang memberikan unsur vulkanik kaya mineral.
Namun, beras ini juga sempat mengalami penurunan popularitas.
Seiring waktu, beras Rojolele mulai tergeser oleh varietas padi modern yang lebih cepat panen dan lebih mudah dibudidayakan.
Padi Rojolele membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk panen dan rentan roboh akibat angin kencang, sehingga petani yang mayoritas penggarap memilih beralih ke varietas lain seperti IR, Ciherang, dan Mentik Wangi yang lebih praktis.
Baca juga: Sejarah Wedang Dongo Pak Untung di Solo: Kuliner Legendaris Sejak 1955, Dulu jadi Sajian Kerajaaan
Fenomena “beras Delanggu” yang kini banyak beredar di pasaran tidak selalu berasal dari Delanggu, karena ada beras dari daerah lain yang “mendompleng” nama baik tersebut. Hal ini mengindikasikan perlunya upaya pelestarian dan penguatan brand asli Rojolele.
Asal-usul Kali Woro di Klaten: Ada Legenda Woro, Pemuda yang Berani Menantang Gunung Merapi |
![]() |
---|
Asal-usul Candi Gana di Klaten Jateng, Ada Relief Manusia Kerdil dalam Mitologi Hindu |
![]() |
---|
Asal-usul Candi Plaosan di Klaten: Peninggalan Mataram Kuno Abad ke-9, Persembahan Cinta Beda Agama |
![]() |
---|
Asal-usul Candi Lumbung di Klaten, Warisan Mataram Kuno yang Undang Decak Kagum Pecinta Sejarah |
![]() |
---|
Asal-usul Candi Bubrah di Klaten, Dibangun Akhir Abad ke-8, Atapnya Lambangkan Tempat Tinggal Dewa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.