Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Fakta Menarik Tentang Solo

Kenapa Solo Tidak Berstatus Daerah Istimewa Surakarta Seperti Yogyakarta? Begini Sejarahnya

Kasunanan menguasai sekitar empat perlima wilayah swapraja, meliputi Kota Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, dan Sragen.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin
TEMPAT BERSEJARAH SOLO - Suasana di depan Keraton Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Beginilah cerita kenapa Solo tidak berstatus Daerah Istimewa seperti Yogyakarta. 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Surakarta atau Solo, sebuah kota dengan sejarah panjang dan akar budaya yang dalam, pernah menyandang status yang sama seperti Yogyakarta yakni sebagai Daerah Istimewa.

Namun, status tersebut tidak bertahan lama. Perjalanan Surakarta sebagai Daerah Istimewa berakhir tragis di tengah gejolak revolusi sosial pasca-kemerdekaan Indonesia, yang dikenal sebagai gerakan anti swapraja.

Apa Itu Swapraja?

Istilah swapraja berasal dari bahasa Belanda Vorstenlanden, yang berarti "tanah kerajaan".

Baca juga: Asal-usul Kelurahan Kadipiro di Solo: saat Penjajahan Belanda jadi Tempat Latihan Perang

Dalam konteks kolonial, swapraja merujuk pada wilayah-wilayah kekuasaan raja yang diakui dan difasilitasi oleh pemerintah Hindia Belanda.

Di Surakarta, sistem ini dijalankan oleh dua kekuasaan utama: Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.

Kasunanan menguasai sekitar empat perlima wilayah swapraja, meliputi Kota Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, dan Sragen.

Sementara itu, Mangkunegaran menguasai wilayah yang lebih kecil seperti Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno.

Meski mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial, para raja tetap berada di bawah pengawasan ketat Gubernur Hindia Belanda.

Baca juga: Kenapa Wonogiri Disebut Kota Gaplek? Begini Awal Mulanya, Dulu Makanan Pokok di Kawasan Pracimantoro

Surakarta Setelah Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, struktur kekuasaan kolonial mulai runtuh, dan muncul dorongan kuat dari rakyat untuk menghapus sistem feodal yang selama ini mengikat mereka.

Rakyat menuntut sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan partisipatif, bukan yang berbasis keturunan dan kekuasaan absolut.

Sayangnya, Sunan Surakarta PB XII dinilai lambat dalam merespons semangat revolusi.

Keraton dianggap pasif dan tidak cukup mendukung gerakan kemerdekaan.

Baca juga: Kenapa Sukoharjo Dijuluki Kota Makmur? Begini Sejarahnya, Ada Kaitan dengan Keraton Surakarta

Ketidakpuasan rakyat pun memuncak, diperburuk oleh kondisi sosial-politik yang kacau, seperti kekerasan, pemberontakan, dan ketimpangan sosial akibat warisan penjajahan.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved