Napak Tilas Kaum Tionghoa di Solo, Ini Alasan Pemukiman ada di Dekat Benteng Vastenburg
Sejarah panjang mengenai keberadaan masyarakat Tionghoa di Solo memang sudah bermula dari ratusan tahun lalu.
Penulis: Astini Mega Sari | Editor: Aji Bramastra
Bentuk akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa itupun beragam dan banyak dijumpai di kehidupan sehari-hari.

“Misalnya dalam hal penamaan di dunia kuliner banyak yang memakai nama Tionghoa seperti bakmi, bakpao, bakso, yang aslinya di China itu semua makanan dengan unsur ‘bak’ itu ada unsu babi. Oleh karena itu di Solo bertebaran warung bakmi, bakpao, bakso yang tetap diberi predikat Jawa dan tidak mengandung babi seperti milik Tionghoa,” tambah Tandjung.
Sementara dalam seni pertunjukan, ada ketoprak dengan lakon Sam Pek Ing Tei yang diambil dari kesusastraan China.
“Bahkan dulu pada tahun 1939 ada seorang Kapiten Tionghoa yang menggelar pernikahan anaknya dengan adat Jawa,” pungkasnya.
• Solo Imlek Festival 2019 Bakal Dimeriahkan Dialog Kebangsaan Haul Gus Dur
Akulturasi budaya itu juga terlihat dari adanya Grebeg Sudiro.
“Grebeg itukan simbol tradisi Jawa untuk menyambut hari-hari besar. Nah Grebeg Sudiro ini kan dimasukkan ke tengah-tengah masyarakat Tionghoa untuk memnyambut Imlek. Ini kan perayaan perpaduan dari Jawa-Tionghoa.”
Diketahui, perayaan Grebeg Sudiro di Solo diawali pada tahun 2007.
Dalam Grebeg Sudiro, gunungan disusun dari kue keranjang yang kemudian diarak di sekitar kawasan Sudiroprajan.
Grebeg Sudiro juga diikuti pawai kesenian Jawa dan Tionghoa seperti, barongsai, tari-tari tradisional hingga kesenian kontemporer. (*)