Imlek 2019
Cerita Kampung Sudiroprajan Solo, Meleburnya Etnis Jawa-Tionghoa yang Berbuah Keuntungan
Selama puluhan tahun etnis Jawa dan Tionghoa hidup rukun di Kampung Sudiroprajan Solo, berikut cerita pluralitas dari Pecinan terbesar di Kota Solo.
Penulis: galuh palupi | Editor: Aji Bramastra
Selama puluhan tahun etnis Jawa dan Tionghoa hidup rukun di Kampung Sudiroprajan Solo, berikut cerita pluralitas dari Pecinan terbesar di Kota Solo.
TRIBUNSOLO.COM - Jejak kampung pecinan di Kota Solo, Jawa Tengah terserak di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres.
Kampung pecinan di belakang kawasan Pasar Gede ini merupakan kampung pecinan terbesar di Solo.
Cakupan wilayahnya meliputi beberapa kawasan, seperti di Kepanjen, Ketandan, Balong, Sudiroprajan, Mijen, dan Limolasan.
Selasa (5/2/2019) ketika etnis Tionghoa tengah merayakan Imlek, Sudiroprajan ikut semarak.
• Jual Barongsai Mini di Pasar Gede Solo Saat Imlek, Supari Raup Untung Jutaan Rupiah
Rumah di gang-gang sempit Sudiroprajan terlihat lebih meriah dengan lampion-lampion merah yang digantung di depan hunian warga.
Banyak warga kampung terlihat beraktivitas di luar rumah.
Beberapa di antara mereka menggunakan baju Cheongsoam dengan warna-warna cerah, merah dan kuning.
Sedikit sejarah tentang Sudiroprajan, kampung ini awalnya merupakan wilayah pasar Keraton Surakarta.
• Empat Jenis Kue Khas Sajian saat Rayakan Imlek, Tak Hanya Kue Keranjang
Pada abad 18, awal masuknya etnis Tionghoa ke Solo, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang Cina di kawasan belakang Pasar Gede.
Lambat laun kawasan tersebut menjadi pusat perdagangan yang masih terlihat jejaknya hingga sekarang.
Sebagai kampung etnis Tionghoa, pluralitas di wilayah itu berkembang cukup baik.
Pribumi dan etnis Tionghoa hidup saling berdampingan, Sudiroprajan adalah contoh nyata dalam merawat kebhinekaan.
• Mengungkap Makna di Balik Sajian Berdaging yang Wajib Ada di Meja Sesajen saat Imlek
Angga Indrawan, warga Sudiroprajan, menyebut jika toleransi di Sudiroprajan sudah terjaga sejak dulu.
"Seiring berjalannya waktu kehidupan sosial berjalan bersamaan antara warga Tionghoa dan pribumi, secara otomatis saling berinteraksi. Karena berinteraksi dari lama akhirnya jadi tidak ada batas. Pembauran muncul dengan sendirinya," ucap Angga yang tahun ini juga didaulat sebagai Ketua Panitia Grebeg Sudiro.
