Kisah Pemuda Gunung Angkat Seni Jadi 'Senjata' Sejahterakan Warga hingga Ampuh Hadang Hoax
Kisah pemuda dari lereng Gunung Telomoyo bernama Trisno tak bosan kembangkan seni dan budaya melalui Desa Menari serta Outbond nDeso demi desanya.
Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Asep Abdullah Rowi
TRIBUNSOLO.COM, SEMARANG - Kabut tipis perlahan turun dari puncak ketinggian 1.894 meter dpl ke kawasan lereng Gunung Telomoyo di Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
Beriringan dengan itu, kelembaban udara yang menjadikan suhu hanya kisaran 13-14 derajat celcius, membuat suasana pedesaan di lereng pegunungan tersebut cukup dingin.
Namun tidak hanya cuaca sejuk yang menjadikan kawasan pedesaan yang asri, tenang dan alami tersebut membuat 'adem'.
Adem di sini bukan cuaca yang disebabkan berada di bawah lereng Gunung Telomoyo.
Tetapi karena suasana desanya yang selama turun temurun ratusan tahun ini bisa dikatakan 'gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja' atau kekayaan alam yang berlimpah dalam keadaan yang tenteram.
Puncaknya belasan tahun belakangan ini tepatnya 2005-an, nama desanya yang hanya berjarak satu kilometer dari puncak Gunung Telomoyo itu, menggema se-antero negeri karena banyak didatangi pengunung berbagai daerah.
Adalah Trisno, sosok pemuda yang menjadi pionir 'Desa Menari' dan 'Outbound nDeso' sehingga daerahnya dikenal sebagai pusat kesenian dan kebudayaan.
• Kemensos Cegah Konflik Sosial dengan Program Kearifan Lokal dan Keserasian
• 32 Desa di Wonogiri Kesulitan Air Bersih, Warga Punya Kearifan Lokal untuk Hadapi Kekeringan
• Doa Untuk Negeri dan Silaturahmi TNI-Polri di Solo, Gus Muwafiq: Masyarakat Jangan Termakan Hoax
• MAFINDO Rilis Web Series Keluarga Anti-Hoaks, Sasar Anak Muda dan Ibu Rumah Tangga
Bahkan menjadi 'benteng' penjaga kesenian dan kebudayaan yang masuk dalam bagian kearifan lokal di Indonesia.
"Ketentraman dan kedamaian desa diwariskan sejak leluhur yang selanjutnya kami (pemuda) jaga serta lestarikan hingga kini sampai nanti," tuturnya mengawali pembicaraan dengan TribunSolo.com, Rabu (30/10/2019).

Pria kelahiran 12 Oktober 1981 yang notabene menjadi lulusan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan sarjana pertama di desanya itu, memilih seni dan kebudayaan untuk menjaga serta memilihara bingkai kedamaian.
Terlebih selama ini, kawasan wilayahnya di tengah-tengah perhutanan terkenal dengan kedamaiannya.
Baik itu tidak pernah ada tawuran, pertikaian antar warga desa hingga kasus radikalisme.
Termasuk dewasa ini saat gencar-gencarnya munculnya berita bohong (hoax) tahun-tahun ini, tidak timbulkan gesekan di dalam desa.
"Karena kami satu melalui seni dan budaya, di antaranya pengembangan tari yang selanjutnya dikenal dengan Desa Menari," jelasnya.