Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Sejarah Kota Solo

Sejarah & Data Lengkap Taman Sriwedari Solo : Akhir Riwayat Hadiah Pakubuwono IX untuk Putra Mahkota

Sejarah & Data Lengkap Taman Sriwedari Solo : Akhir Riwayat Hadiah Pakubuwono IX untuk Putra Mahkota

Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Aji Bramastra
TribunSolo.com/Muhammad Irfan
Taman Sriwedari seperti yang terangkum dalam Majalah Kajawen terbitan Balai Pustaka edisi 28 Maret 1928. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Muhammad Irfan Al Amin

TRIBUNSOLO.COM - Taman Sriwedari Solo merupakan taman kota milik Pemerintahan Surakarta yang terletak di tepi Jalan Slamet Riyadi, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Solo, Jawa Tengah.

Taman tersebut telah dibangun sejak tahun 1877, tepatnya di era Pakubuwana X.

Sejarah Baru Stadion Manahan Solo, Pernah Diresmikan Soeharto, Usai Renovasi Diresmikan Lagi Jokowi

Begini Fakta Lain Sejarah Panjang Taman Sriwedari Versi Majalah Kajawen yang Terbit pada Tahun 1929

Oleh Pakubuwana X, Taman Sriwedari dibangun di atas tanah pemberian Pakubuwana IX.

Menurut sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, Pakubuwana IX membelinya sebagai hadiah bagi putra mahkotanya.

Heri juga menjelaskan bahwa segala bentuk urusan administrasi diurus oleh K.R.A Sasranegara yaitu leluhur dari R.M.T Widyodiningrat.

TAMAN Sriwedari - Inilah Taman Sriwedari, sebuah objek wisata di Kota Solo, Jawa Teng
TAMAN Sriwedari - Inilah Taman Sriwedari, sebuah objek wisata di Kota Solo, Jawa Teng (TRIBUNSOLO.COM/DARYONO)

Pembelian tanah tersebut tercatat dalam akta notaris dengan nomor 10 tanggal 13 Juli 1877 dengan harga 65.000 gulden dari warga Belanda Johanness Busselarr.

Dilansir dari situs Rumah Belajar milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (belajar.kemdikbud.go.id), pembangunan tersebut bertujuan untuk menjadi tempat terselenggaranya tradisi hiburan di setiap acara Malam Selikuran.

Pembangunan Taman Sriwedari, juga diharapkan bisa jadi tempat hiburan bagi para rakyat, abdi dalem hingga sentana dalem, saat itu.

Penggunaan nama Sriwedari sendiri berasal dari cerita pewayangan, yaitu sebuah tempat yang digunakan menjadi tempat hiburan bagi para istri Prabu Harjuna.

Sebelum Taman Sriwedari berdiri, daerah tersebut merupakan wilayah dari Desa Talawangi.

Taman Sriwedari Solo di awal Abad ke-20
Taman Sriwedari Solo di awal Abad ke-20 (Majalah Kejawen)

Saat ini, nama Desa Talawangi lebih dikenal dengan Kelurahan Kadipolo, dengan batas di sebelah utara adalah Jalan Besar Purwosari( saat ini Jalan Slamet Riyadi) dan batas timur adalah Jalan Pasar Kembang (sekarang Jalan Honggowongso), serta sebelah selatan berbatasan Jalan Besar Baron (sekarang Jalan Dr Rajiman).

Demi menyenangkan rakyatnya, Pakubuwana X menganggarkan biaya ribuan gulden untuk membangun taman dan menghias segala di dalamnya.

Anggaran tersebut digunakan untuk membeli beraneka ragam hewan buruan.

Secara geografis, lokasi tanah Sriwedari memiliki bentuk persegi panjang yang membujur dari barat ke timur.

Dimulai dari sebelah barat merupakan bekas taman dan kini menjadi Stadion R.Maladi (stadion Sriwedari), bagian tengah berisi Taman Hiburan Rakyat (THR) yang berisi gedung wayang orang dan gedung kesenian Solo (bekas bioskop), dan sebelah timur terdapat Museum Radyapustaka.

Selain bangunan terdapat beberapa telaga buatan yang diberi nama "segara".

Dalam sejarahnya, peresmian Taman Sriwedari berlangsung meriah.

Dimulai dari siang hari, dimana PB X mengundang diplomat dan perwakilan negara sahabat kala itu, dan diadakan pembagian sedekah makanan bagi seluruh rakyat.

Acara kemudian ditutup pada malamnya dengan pesta kembang api dan pemutaran film layar tancap.

Tercatat bahwa acara tersebut dilaksanakan pada tahun Dal 1831 atau pada 1899 Masehi.

Mitos Taman Sriwedari Versi Majalah Kajawen

Mengenai asal usul pembentukan Taman Sriwedari, Majalah Kajawen terbitan Balai Pustaka edisi 28 Maret 1928, memiliki beberapa fakta yang berbeda dari referensi sejarah lainnya.

Pertama, istilah Taman Sriwedari berasal dari Serat Arjunasasra, yang menceritakan keelokannya mirip dengan taman-taman yang berada di surga yang diciptakan Sri Batara Wisnu.

Oleh karena itu penciptaan istilah Sriwedari karena rupa dan keelokan yang menawan dari taman tersebut.

Kedua, pendiri dari Taman Sriwedari adalah Sinuhun Pakubuwana II.

Diceritakan ketika Pakubuwana II selesai melakukan perjalanan ke Ponorogo dan kembali kediamannya mendapati keraton dalam keadaan hancur lebur akibat serangan militer Cina.

Maka dirinya pun bertitah agar segera disiapkan tempat baru bagi kerajaannya.

Maka ditemukanlah Dusun Sala. Nama Sala sendiri diambil dari tokoh setempat Ki Busala.

Ketiga, proses pemilihan lahan Taman Sriwedari merupakan titik langkah akhir dari seekor gajah milik Pakubuwana II.

Namun karena letaknya terlalu jauh dari keraton, maka letaknya digeser hingga lokasi yang berada saat ini.

Keempat, ketika dibangun sebagai taman, banyak tanaman yang masih baru saja ditanam, sehingga menimbulkan efek cuaca yang panas pada saat itu.

Berselang waktu baru Taman Sriwedari menjadi taman yang menyenangkan.

Namun cerita soal Taman Sriwedari di majaleh Kejawen tersebut disangkal oleh sejarawan, Heri Priyatmoko.

Dia menjelaskan bahwa itu hanya sebuah mitos dan cerita rakyat biasa tanpa bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Museum Radya Pustaka

Museum Radya Pustaka merupakan salah satu bangunan yang terletak di area kompleks Taman Sriwedari sebelah timur. Berada di Jalan Slamet riyadi, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Solo.

Didirikan pada tanggal 28 Oktober 1890 oleh KRA Sosrodiningrat IV salah seorang Pepatih dalem Keraton Surakarta.

Pendiri Museum Radya Pustaka Solo
Pendiri Museum Radya Pustaka Solo, KRA Sosrodiningrat IV (TRIBUNSOLO.COM/Muhammad Irfan Al Amin)

Secara makna, Radya Pustaka diambil dari kata Radya yang bermakna negara atau keraton, dan Pustaka bermana perpustakaan.

Sehingga maknanya adalah perpustakaan milik negara.

Secara arsitektur Museum Radya Pustaka mengikuti gaya Belanda.

Pemiliknya terdahulu adalah seorang Belanda yang bernama Johannes Busselaar, kemudian dibeli oleh Pakubuwono X.

Akhirnya, pada 1 Januari 1913 diserahkan pada Paheman Radya Pustaka untuk menjadi museum.

Bangunan tersebut memiliki luas keseluruhan adalah 523,24 meter persegi.

Terdiri atas ruang pameran 389,48 meter persegi, ruang perpustakaan 33,76 meter persegi dan ruang perkantoran 100 meter persegi.

Museum Radya Pustaka Solo
Museum Radya Pustaka Solo (TRIBUNSOLO.COM)

Koleksi museum ini berupa benda-benda kuno peninggalan sejarah, seperti arca pusaka, wayang kulit peralatan musik tradisional hingga pakaian kerajaan yang usianya mencapai ratusan tahun.

Dilansir dari travel.kompas.com, pengelola Museum Radya Pustaka, Kurnia Heniwati menjelaskan terdapat 400 naskah yang kesemuanya merupakan hasil tulisan tangan.

Diantara yang tertua adalah dibuat pada tahun 1729 di era pemerintahan Pakubuwono I.

Sedangkan yang paling belia dibuat pada tahun 1950an yang mengisahkan percintaan antara seorang wanita Cina dan Pakubuwono VI.

Mengenai pengunjung yang hadir, berasal dari berbagai kalangan seperti pelajar, mahasiswa hingga profesional.

Dinas Pariwisata Pemerintah Surakarta menjelaskan bahwa Museum Radya Pustaka sengaja tidak ditarik biaya retribusi agar dapat menarik wisatawan.

Terbukti, banyak wisatawan hadir meskipun bukan hari libur.

Gedung Wayang Orang 

Gedung Wayang Orang terletak di dalam kompleks Taman Sriwedari yang berada di Taman Kebon Rejo.

Setiap malam dipentaskan dari pukul 20.00 WIB.

Patung Gatotkaca-Pregiwa di depan Pendopo Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, yang diilhami dari pemeran Wayang Orang Sriwedari, Rusman-Darsi.
Patung Gatotkaca-Pregiwa di depan Pendopo Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, yang diilhami dari pemeran Wayang Orang Sriwedari, Rusman-Darsi. (TRIBUNSOLO.COM)

Lakon yang dimainkan tiap malam selalu dengan variasi yang berbeda.

Berdiri sejak tahun 1910, pada masa pemerintahan Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X.

Maka gedung pertunjukkan tersebut menjadi yang tertua di Indonesia.

Dikutip dari laman situs Pesona Indonesia milik Kementerian Pariwisata RI, cikal bakal berdirinya GWO adalah pagelaran wayang orang di masa Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegara I saat berkuasa.

Para pemainnya saat itu merupakan para abdi dalem yang berada di istana.

Ketika itu, pertunjukkan sempat vakum dikarenakan keterbatasan biaya.

Gedung Wayang Orang Sriwedari di Kompleks Taman Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Solo.
Gedung Wayang Orang Sriwedari di Kompleks Taman Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Solo. (TRIBUNSOLO.COM/BAYU ARDI ISNANTO)

Kemudian, salah seorang pengusaha Tionghoa, Gan Kam, memberikan sponsor dana dan merekrut para pemain wayang Mangkunegara untuk tampil di luar istana.

Melihat penampilan wayang orang kian digemari oleh masyarakat, Pakubuwana X memerintahkan agar para aktor wayang untuk tampil di Taman Kebon Rojo.

Maka pada tahun 1910, dimulailah pertunjukkan tersebut.

Setelah beberapa tahun, kesenian wayang orang yang dulu sangat digemari masyarakat, mulai menurun pamornya.

Munculnya televisi di tahun 1950-1970an, jadi penyebab utama.

Setelah periode tersebut, bertepatan pada tahun 2000, Pemerintah Kota Solo mulai ikut membantu terutama dalam hal promosi.

Hingga saat ini jumlah penonton mulai mengalami peningkatan signifikan.

Salah seorang wakil koordinator wayang orang Sriwedari, Billi Aldi Kusuma, menjelaskan, saat ini jumlah penonton masih mengalami peningkatan.

Apalagi banyak pengunjung yang datang dari berbagai kota atas dasar kerjasama dengan pemerintah kota.

Di lain hal Gedung Wayang Orang Solo juga sering digunakan oleh beberapa kelompok pertunjukkan untuk mengadakan penampilan seperti kelompok SMA, ataupun dari mahasiswa perkuliahan.

Selain itu masih banyak anak muda yang mau bergabung dan belajar mengenai kesenian wayang orang sehingga dapat menjadi regenerasi baru bagi para pelaku wayang di area Sriwedari.

Stadion Sriwedari

Stadion Sriwedari merupakan area olahraga sepak bola yang berada dalam kompleks Taman Sriwedari, tepatnya berada di sebelah barat di samping Jalan Bhayangkara No.5.

Pada tahun 2003 hingga 2011 sempat berganti nama menjadi Stadion R. Maladi. Saat ini kembali menjadi Stadion Sriwedari.

Pelatih fisik Persis Solo, Budi Kurnia, menyisipkan satu program fisik dalam latihan di Stadion Sriwedari, Rabu (15/1/2020) pagi.
Pelatih fisik Persis Solo, Budi Kurnia, menyisipkan satu program fisik dalam latihan di Stadion Sriwedari, Rabu (15/1/2020) pagi. (TRIBUNSOLO.COM/BONDAN SUDARSONO)

Lokasi ini didirikan oleh Pakubuwono X dikarenakan sebelumnya ditempat yang sama banyak terjadi kegiatan olahraga terutama sepakbola.

Para pemain yang bermain pun mayoritas merupakan anak-anak bangsawan dari Keraton Solo dan para serdadu Belanda.

Hal ini dikarenakan sepakbola merupakan olahraga yang dibawa para masyarakat Belanda ke tanah nusantara, sebelumnya di area yang sama banyak kegiatan olahraga lokal seperti kanuragan.

Kian lama Stadion Sriwedari mulai digemari dan klub sepakbola mulai dibentuk, sehingga alun-alun Taman Sriwedari selain ramai karena para pengunjung yang ingin menikmati suasana taman dapat juga berolahraga di dalam dan sekitar stadion.

Penampakan sampah - sampah usai Upacara HUT Kota Solo ke-273, di area Tribun Stadion Sriwedari, Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (17/2/2018).
Penampakan sampah - sampah usai Upacara HUT Kota Solo ke-273, di area Tribun Stadion Sriwedari, Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (17/2/2018). (TRIBUNSOLO.COM/GARUDEA PRABAWATI)

Dilansir dari buku Sala Membangun, dijelaskan telah terjadi pekan olahraga pertama pada 9 September 1948.

Pertandingan tersebut dimenangkan atas Rest Persis atas Ps. H.W. (Hizboel Wathan) dengan skor akhir 4-2.

Terakhir stadion ini digunakan sebagai perlombaan National Paralympic pada 23-27 Oktober 2019.

Saat ini secara resmi stadion Sriwedari digunakan oleh para pemain klub sepakbola Persis Solo untuk berlatih dan melakukan pertandingan internal.

Kios Buku Busri

Kios buku Busri merupakan kepanjangan dari Mburi Sriwedari , sebuah bahasa Jawa yang berarti 'belakang Sriwedari'.

Sesuai namanya Kios Busri berada di belakang Taman Sriwedari yang tepatnya di Jalan Kebangkitan Nasional No.21-22.

Para pedagang di area tersebut berada di bawah naungan dan perlindungan Dinas Pariwisata, dikarenakan mereka harus membayar biaya retribusi setiap bulannya.

Pusat penjualan buku di kios buku belakang Taman Sriwedari atau biasa dikenal dengan Mburi Sriwedari (Busri) Solo yang juga menyediakan buku panduan CPNS, Rabu (6/11/2019)
Pusat penjualan buku di kios buku belakang Taman Sriwedari atau biasa dikenal dengan Mburi Sriwedari (Busri) Solo yang juga menyediakan buku panduan CPNS, Rabu (6/11/2019) (TribunSolo.com/Adi Surya Samodra)

Sekretaris Paguyuban pedagang Buku Belakang Sriwedari, Purwadi, mengatakan, tak ada yang tahu siapa yang memulai untuk berdagang di sini.

Menurutnya, para pedagang telah mulai menggelar lapak sejak tahun 1970an.

Sehingga, saat ini kebanyakan pedagang merupakan generasi kedua hingga generasi ketiga pedagang di masa-masa awal.

Di Busri selain menjual buku juga terdapat penjualan alat-alat tulis, mesin ketik, hingga peralatan elektronik.

Suasana di area itu cukup ramai, oleh berbagai kalangan dari anak-anak hingga orang tua.

Di musim-musim tertentu keuntungan pedagang bisa mencapai dua kali lipat, seperti ketika menjelang ujian CPNS, tahun ajaran baru sekolah, hingga Ujian Nasional.

Sengketa Perebutan Lahan Sriwedari

Sengketa perebutan lahan taman Sriwedari antara pihak keluarga ahli waris RMT Wirjodiningrat selaku penggugat dan Pemerintah Kota Solo yang tergugat, berakhir dengan dimenangkannya pihak penggugat, pada Maret 2020.

Sengketa ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang dimulai sejak tahun 1970 dengan nomor register No:147/1970.Pdt. hingga penetapan keputusan pengosongan pada 21 Februari 2020.

Proyek Masjid Taman Sriwedari yang menelan dana Rp 165 miliar terancam dirobohkan karena dibangun di lahan sengketa.
Proyek Masjid Taman Sriwedari yang menelan dana Rp 165 miliar terancam dirobohkan karena dibangun di lahan sengketa. (TRIBUNSOLO.COM/ADI SURYA SAMODRA)

Pengacara dari penggugat, Anwar Rachman, mengatakan bahwa keputusan itu sudah mengikat dan sudah final.

"Setelah 14 keputusan pengadilan seharusnya sengketa ini sudah selesai, dan bagi siapapun yang tidak mau tunduk tidak layak untuk hidup sebagai warga negara," kata Anwar.

Di lain pihak banyak pihak yang menyayangkan atas keputusan pengadilan tersebut.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menyebut, Taman Sriwedari merupakan hadiah dari Paku Buwana X kepada rakyat sebagai bentuk upaya menyatukan rakyat dari segala lapis sosial.

"Jadi apa mungkin seseorang akan menganggarkan ribuan gulden untuk membangun bangunan yang bukan diatas tanah miliknya sendiri?," kata Heri memberikan pandangan logikanya.

Heri juga menambahkan, berdasarkan buku sejarah Nawa Windu Paheman Radyapustaka 1890-1960, terdapat kemungkinan terjadinya perbedaan tafsir dalam proses tata niaga pembelian tanah dari orang Belanda, Johaness Busselarr.

Akhirnya, para ahli waris RMT Wirjodiningrat melakukan gugatan.

"Yang membeli tanah adalah Paku Buwana IX dan yang membangun adalah Paku Buwana X, dan patihnya K.R.A Sasranegara (leluhur R.M.T Widyadiningrat) yang melakukan transaksi jual beli," jelas Heri, sehingga dapat disimpulkan bahwa dari situlah akar permasalahan bermula.

Namun argumen tersebut ditolak oleh Anwar.

Menurutnya alasan sejarah yang selama ini ada hanyalah karangan belaka dan tidak bisa dibuktikan secara autentik dan ilmiah.

"Semua bukti itu ngawur, andaikata benar seharusnya bisa menang ketika berdebat di pengadilan, namun dari sejumlah persidangan yang ada tidak bisa dibuktikan sama sekali," jelas Anwar.

Anwar menjelaskan, pembelian lahan Sriwedari dilakukan oleh RMT Wirjodiningrat pada 13 Juli 1877 dihadapan notaris Peter Jacobus dengan akta jual beli nomor 10.

Selain itu Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Tanah Surakarta juga mengeluarkan bukti kepemilikan antara lain Recht Van Eigendom No: 295 dikuatkan dengan Akte Assisten Resident Surakarta No: 19 tanggal 05 Desember 1877 dan peta Minuut Kelurahan Sriwedari Blad: 10.

Menanggapi sertifikat yang sempat dikeluarkan oleh BPN atas nama Pemerintah Kota Solo, Anwar menyatakan itu tidak memiliki kekuatan hukum dan akhirnya dibatalkan oleh ahli waris melalui persidangan.

"Ahli waris secara hukum menggugat sertifikat tersebut dan oleh BPN Kanwil Jateng secara resmi sertifikat tanah tersebut menjadi batal," kata Anwar.

Menanggapi proses sengketa tersebut masyarakat sekitar Sriwedari bersikap optimis bahwa hal tersebut tidak akan berdampak pada mereka.

Di antaranya para pelapak buku Mburi Sriwedari (Mbusri) yang berada di sekitar Taman Sriwedari.

Mereka menyatakan tidak berkeberatan atas proses pemindahan hak kepemilikan dari pihak pemerintah ke swasta.

Asal, mereka masih diberi kesempatan untuk berdagang di sana.

Sekertaris Paguyuban pedagang Buku Belakang sriwedari, Purwadi, menyampaikan mereka akan patuh dengan setiap instruksi yang diberikan oleh pemerintah.

"Kami infokan bahwa sengketa lahan Sriwedari bagi pedagang belum ada dampak yg mengganggu, karena kami masih dalam pengelolaan dinas pariwisata dan dari dinas terkait belum ada instruksi mengenai tindakan selanjutnya," kata Purwadi.

Mengenai lokasi Mbusri, Anwar menjelaskan bahwa kliennya akan memberi keringanan dan apabila harus direlokasi tetap akan memberikan kesempatan bagi para pedagang untuk berdagang hingga mereka dapat lokasi baru.

“Kami tetap memberi kesempatan bagi para pedagang, karena mereka juga berada di luar area.”. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved