Nasib Pilu Timor Leste 21 Tahun Setelah Lepas dari Indonesia : Kini Kelaparannya Terparah di Dunia
Nasib Pilu Timor Leste 21 Tahun Setelah Lepas dari Indonesia : Kini Kelaparannya Terparah di Dunia
TRIBUNSOLO.COM - Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Leste mengikuti referendum atau jejak pendapat terkait status mereka di bawah Indonesia.
Setidaknya, itulah hasil dari referendum yang katanya dikawal oleh sejumlah negara asing yang menyatakan 'netral'.
Baca juga: Gubernur NTT Tutup Sementara Perbatasan RI-Timor Leste untuk Antisipasi Virus Corona
Baca juga: Sempat Melarikan Diri ke Timor Leste, Kepala Desa yang Siksa Gadis 16 Tahun di NTT Ditangkap Polisi
Saat itu, Timor Timur, nama Indonesia Timor Leste, diberi pilihan : mendapat otonomi lebih besar dalam Indonesia, atau merdeka sepenuhnya.
Pilihan pun jatuh pada merdeka.
Lalu, bagaimana kabar Timor Leste sekarang, atau 21 tahun setelah lepas dari Indonesia?
Edisi terbaru Global Hunger Index (Indeks Kelaparan Global) menunjukkan Timor Leste mencatat tingkat kelaparan yang 'mengkhawatirkan' di negara tersebut.
Situasi tersebut telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam laporan tersebut, Timor Leste merupakan peringkat terburuk kedua di antara 107 negara, setelah Chad.
Chad sendiri merupakan sebuah negara yang terletak di Gurun Sahara, Afrika.
Sebagai akibat dari kondisi wilayahnya yang didominasi oleh padang gurun dan lokasinya yang jauh dari laut, Chad pun memperoleh julukan 'jantung mati Afrika'.
Melansir Macau Business, Rabu (14/10/2020), Timor Leste memperoleh Global Hunger Index 37,6 (maksimum 100, peringkat terburuk)
Laporan tersebut menganggap situasi di negara itu 'mengkhawatirkan'.
Hal tersebut menjadikan Timor Leste yang terburuk kedua dalam indeks tahun ini di antara negara-negara yang dianalisis.
Dengan menyoroti bahwa situasi di Timor Leste semakin memburuk, penulis laporan menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan kerawanan pangan kronis di Timor Leste.
Di antara faktor-faktor tersebut menyoroti produktivitas pertanian yang rendah, konsumsi makanan yang tidak memadai baik dalam jumlah maupun kualitas, dan ketergantungan banyak warga negara pada strategi nilai subsistensi rendah yang unik.