Tetangga Bersengketa Tanah
Damai, Dua Warga Sragen yang Berselisih Tanah Selebar 33 CM Mau Tanda Tangani Surat Pernyataan
"Surat pernyataan pun ditandatangani mereka, BPN, dan saya selaku lurah desa," katanya kepada Tribunsolo.com, Senin (23/11/2020).
Penulis: Rahmat Jiwandono | Editor: Ryantono Puji Santoso
Laporan Wartawan Tribunsolo.com, Rahmat Jiwandono
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Suprapto dan Suparmi yang sempat berselisih terkait tanah selebar 33 centimeter berujung damai dengan membuat surat pernyataan yang ditandatangani kedua belah pihak.
Lurah Desa Wonokerso, Suparno mengatakan, surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai 6.000.
"Surat pernyataan pun ditandatangani mereka, BPN, dan saya selaku lurah desa," katanya kepada Tribunsolo.com, Senin (23/11/2020).
Baca juga: Viral Video Jenazah Dibawa dengan Sepeda Motor di Bogor, Ini Fakta Sebenarnya
Baca juga: Cerita Kim Seon Ho Syuting Start-Up, Akui Sempat Gugup dan Jantungnya Berdebar Kencang
Suparno menyebut kedua belah pihak legowo hasil pengukuran yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sragen.
"Semuanya sudah bisa menerima," katanya.
Iboet Lugiarti selaku anak dari Suparmi, menuturkan, pihaknya sudah bisa menerima hasil pengukuran.
Meski begitu, ia menyayangkan tindakan tetangganya yang menggempur tembok miliknya.
"Pak Suprapto ini sempat menggempur tembok rumah bagian belakang," ujarnya.
"Karena kami tidak terima atas tindakan itu kami laporkan ke polisi, setelah dilaporkan ke pihak berwajib dia baru mau ganti rugi," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Suprapto dan Suparmi warga Dukuh Kawis Dulang RT 18, Desa Wonokerso, Kecamatan Kedawung berselisih soal batas tanah selebar 33 sentimeter.
Konflik Selama 4 Tahun
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sragen menyelesaikan sengketa batas tanah antara Suprapto dan Suparmi di Dukuh Kawis Dulang RT 18, Desa Wonokerso, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen.
Petugas Pengukur BPN Sragen, Suparto mengatakan, luas tanah mereka telah diukur, hasilnya tidak ada yang melebihi patok.
"Kami mengukurnya berdasarkan data rigid desa dan sertifikat tanah mereka berdua," paparnya kepada Tribunsolo.com, Senin (23/11/2020).
Baca juga: Imbas Warung Es Dawet Langganan Presiden Jokowi Kena Kabar Hoaks : Sehari Cuma Bisa Jual 1,5 Jeriken
Baca juga: Potret Rumah Pemulung yang Perbaiki Jalan Rusak Pakai Uang Pribadi: Dinding Triplek, Lantai Semen
Dijelaskannya, di antara tembok rumah mereka sudah ada patok yang terpasang.
"Patok itu dulunya yang memasang perangkat desa di sini, supaya persoalan ini cepat selesai," ujarnya.
Dengan begitu, pihaknya akan menggunakan patok tersebut sebagai penanda batas tanah.
"Nanti akan dicat warna merah," katanya.
Ia mengaku lega bisa turut menyelesaikan persoalan ini, menurutnya, beberapa kali mediasi sudah dilakukan namun tidak ada hasil.
"Akhirnya dengan pengukuran yang kami lakukan, persoalan sudah beres," katanya.
Sebelumnya diberitakan, kedua warga tersebut berselisih ihwal batas tanah yang dianggap tidak sesuai dengan sertifikat karena lebih dari 33 centimeter.
Persoalan sempat meruncing, saat itu Suprapto selaku ketua RT 18 yang berseteru meroboh tembok milik Suparmi pada Juli 2020 kemarin.
Suparmi pun tidak terima, lantas melaporkan kejadian itu ke Polsek Kedawung.
Ingin Ajak Suparmi Kembali Bersosialisasi dengan Warga
Kisah dua orang warga asal Dukuh Kawis Dulang RT 18, Desa Wonokerso, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen yang bersengketa terkait tanah selebar kurang lebih 33 centimeter (cm) akhirnya menemui titik terang.
Kedua pihak memutuskan berdamai usai petugas dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengukur luas masing-masing tanah pada hari ini, Senin (23/11/2020).
Ketua RT 18 sekaligus warga yang bersengketa, Suprapto menerima hasil pengukuran yang dilakukan BPN.
“Kalau sudah ada keputusan yang resmi dari BPN begini kan beres masalahnya,” tuturnya kepada Tribunsolo.com, Senin (23/11/2020).
Ia menyatakan, patok yang ada di dekat sebuah bangku dari semen menjadi penanda pemisah tanah milik antara Suparmi dengan Suprapto.
“Jadi kalau ada bangunan sekecil apapun yang di luar batas patok harus dihancurkan,” ungkapnya.
Setelah masalah ini usai, Suprapto mengajak Suparmi untuk kembali berkumpul bersama warga lainnya.
Menurutnya, sejak ada sengketa ini, Suparmi tidak bersosialisasi lagi dengan warga.
Baca juga: Ibu Asal Tangsel Nekat Rendam Balita di dalam Ember isi Air, Ternyata Cemburu dengan Istri Tua
Baca juga: Jungkook BTS Ditanya soal Waktu untuk Pacaran, Akui Lebih Butuh Waktu untuk Tidur
“Budaya di desa itu harus sering kumpul bersama, karena kalau ada apa-apa yang menolong juga warga sekitar,” katanya.
Untuk diketahui, pada Juli 2020 lalu, Suparmi dan Suprato berselisih ihwal batas tanah mereka.
Suparmi beranggapan bahwa batas rumah milik Suprapto lebih dari 33 centimeter dari yang seharusnya.
Bersengketa Sejak 4 Tahun Lalu
Idealnya, tetangga saling hidup rukun satu sama lain.
Namun dua warga Sragen, Suparmi (61) dan Suprapto, tidak demikian.
• Sengketa Pasar Ir Soekarno Sukoharjo, Pemkab Harus Bayar Rp 8,8 Miliar, Tapi PT Ampuh 7,4 Miliar
• Sriwedari Bakal Dieksekusi, Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo: Masjid Bukan Dibangun di Tanah Sengketa
Keduanya tinggal bersebelahan rumah, tapi tidak akur lantaran terlibat sengketa tanah.
Warga Dukuh Kawis Dulang, RT 018, Desa Wonokerso, Kedawung, Sragen itu berselisih tanah selebar 33cm dan sepanjang 100m sampai berlarut larut.
Puncaknya, Suprapto merusak tembok batas rumah milik Suparmi.
TribunSolo.com lalu berusaha mencari tahu bagaimana duduk perkara perisiwa ini sebenarnya.
Dari versi Suparmi, ia menuturkan asal muasal sengketa tanah tersebut terjadi saat anaknya sakit.
Ia mengaku lupa tahun persisnya.
Yang jelas, soal sengketa dan tidak akurnya dia dan tetangga sebelah, sudah berlarut selama bertahun-tahun.
"Awalnya anak saya sakit, butuh biaya operasi, sehingga saya menjual tanah itu," katanya saat ditemui TribunSolo.com pada Kamis (16/7/2020).
"Saat disertifikatkan, ternyata sisa luas tanah dan yang ada di sertifikat berbeda," imbuhnya.
Suparmi yang kekeuh dengan sisa luas tanah yang ia miliki, lalu membangun sebuah tembok sekira di tahun 2000an awal.
Masalahnya, tembok yang dia bangun melewati ukuran yang digariskan oleh kelurahan.
"Saya yakin karena saya hafal dan ingat luas tanah saya sebelum saya jual," tegasnya.
Ia pun memprotes ketidakadilan itu pada kelurahan sejak tahun 2016.
Ia bahkan meminta pihak kelurahan melakukan pengukuran tanah ulang.
"Saya membayar Rp 400 ribu tapi hasilnya sama, saya masih tidak terima karena saya yakin itu ada sisa lebar 33 cm," terangnya.
Beberapa perundingan pun dilakukan oleh kedua belah pihak pada tahun 2016 tersebut.
"Dulu ada perjanjian dengan kepala desa juga, tapi hasilnya tetap nihil, sisa tanah saya tidak kembali," pungkasnya.
Lantaran tak terima, ia pun membawa ke ranah Dinas Agraria Kabupaten Sragen.
Tak hanya itu, ia pun membawa pengacara agar sengka tersebut lekas menemui titik temu.
Hubungan dua tetangga ini pun memburuk.
Dari semula kehidupan bertetangga yang normal dan baik-baik saja, menjadi tak saling bertegur sapa.
Bahkan, pada akhir 2018, Suprapto, tetangga sebelah Suparmi, dilaporkan merusak tembok pembatas rumah yang dibangun Suparmi di sisa tanah selebar 33 cm itu.
"Dilakukan dua kali, pertama yang depan akhir 2018, kedua yang bulan Maret tahun ini," aku Suparmi.
Suparmi pun tak terima dengan kejadian tersebut lalu melaporkan ke pihak Polsek Sragen pada 19 Mei 2020.
"Katanya saat ini sudah naik ke Polres Sragen dan mau dibawa ke ranah pengadilan," ungkapnya.
Dalam surat yang tertera, Suprapto dikenakan pasal 406 KUHP dengan pasar pengrusakan.
Dikonfirmasi terpisah, Lurah Wonokerso, Suparno, membenarkan ada peristiwa ini di daerahnya.
Ia mengaku sudah mendamaikan, tapi tetap buntu hasilnya.
Ia juga menyesalkan warganya yang ngotot menempuh jalur hukum.
"Sebenarnya saya sudah jengah, sebagai lurah tentu saya ada keinginan untuk mendamaikan, karena mereka berselisih sejak lama,"
"Tapi Ibu Parmi tidak mau memilih jalur kekeluargaan," sesalnya.
"Akhirnya ya saya biarkan, biar diproses Kepolisian saja," ujar Suparno. (*)