Melihat Ponten, Toilet Umum Pertama di Solo, Dibangun Bermula dari Degundahan Hati Sang Pemimpin
Bangunan ini merupakan toilet atau tempat mandi, cuci dan kakus (MCK) pertama di Solo pada masa kolonial.
TRIBUNSOLO.COM - Sebuah bangunan kuno yang sering disebut ponten di Solo ternyata memiliki sejarah panjang di baliknya.
Bangunan ini merupakan toilet atau tempat mandi, cuci dan kakus (MCK) pertama di Solo pada masa kolonial.
• Cara Mengurus Surat Izin Mendirikan Bangunan: Simak Tahapan, Syarat, hingga Perkiraan Biayanya
Hingga kini bangunan berusia 84 tahun itu masih tampak kokoh berdiri.
Namun, dinding-dinding bangunan itu telah tampak termakan usia.
Menelusur sisi-sisi ponten

Tampak dari depan, bangunan bercat putih ini memiliki tembok setinggi tiga meter dengan dua akses kecil di sisi kanan dan kiri.
Meski sempit, akses celah bisa menembus hingga ke bagian belakang.
Di keempat sudut ponten terdapat bilik kecil untuk tempat buang air dan mandi.
Dalam satu bilik dibagi menjadi dua tempat buang air dengan sekat tembok satu meter. Terdapat satu bak air dan sebuah jamban.
Kemudian terlihat pula beberapa pancuran untuk mandi dengan tempat duduk yang menyatu dengan lantai.
Meski tertutup tembok, sama sekali tak ada daun pintu di setiap bilik-biliknya. Yang menarik, bangunan ini langsung beratapkan langit.

• 10 Tenda Sudah Didirikan di Rumah Sakit Lapangan Benteng Vastenburg Solo, Begini Penampakannya
Berangkat dari kegundahan hati sang pemimpin
Menurut sejarawan yang juga merupakan Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, ponten menjadi titik awal revolusi sanitasi warga, khususnya di Jawa dan Solo.
Bangunan tersebut berangkat dari kegundahan hati Mangkunegara VII melihat rakyatnya yang minim kesadaran dalam hal mandi, cuci dan kakus.
"Dalam proses kepemimpinan, Mangkunegara VII ini, seringkali mider projo (berkeliling wilayah). Mangkunegara VII naik kuda menyapa masyarakat hingga melihat drainase, kalen (parit), sungai," kata Heri.
"Saat berada di wilayah Kestalan, beliau tahu ternyata masyarakat menggunakan air sungai untuk berbagai keperluan. Mangkunegara VII prihatin, kok, ada rakyatnya seperti ini," lanjut dia.