Sejarah Kota Solo
Hari ini Hari Ulang Tahun Kota Solo ke-276, Inilah Mengapa Diperingati Tiap Tanggal 17 Februari
Setiap 17 Februari menjadi tanggal bersejarah bagi masyarakat Solo karena itulah hari permulaan berdirinya kota yang semula kerajaan.
Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan Tribunsolo.com, Muhammad Irfan Al Amin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Hari ini, atau 17 Februari 2021, diperingati sebagai Hari Lahir Kota Solo ke-276.
Lalu mengapa Hari Jadi Kota Solo diperingati setiap 17 Februari?
Setiap 17 Februari menjadi tanggal bersejarah bagi masyarakat Solo, karena hari itu permulaan berdirinya kota yang semula kerajaan.
Pada hari yang juga bertepatan pada Rabu 15 Sura 1670 atau 17 Februari 1745, pihak Kasunanan Surakarta melakukan bedol desa dari Kartasura dengan kirab besar-besaran.
Pindahnya ibukota bermula saat tragedi pemberontakan masyarakat Cina terhadap Keraton Kartasura atau dikenal dengan istilah Geger Pecinan menyebabkan segenap punggawa dan bangsawan keraton harus mengungsi ke Ponorogo.
Setelah pemberontakan reda dan Susuhunan Paku Buwono II kembali ke Kartasura telah melihat kerajaannya hancur lebur rata dengan tanah.
Baca juga: Pesan Fx Rudy untuk Wali Kota Solo Terpilih Gibran Rakabuming : Pertahankan Pemerintahan yang Bersih
Baca juga: Viral Pria Asal Solo Beli Motor Bebek Seharga Rp 125 Juta, Sang Istri Mengira Hanya Rp 10 Jutaan
Hal itu diakibatkan serangan demi serangan dari warga Cina yang dipimpin oleh Sunan Kuning atau Amangkurat III.
Bahkan saat pemberontakan tersebut terjadi pihak Belanda yang sering ikut campur dalam urusan kerajaan tidak berani untuk menangani.
Hingga akhirnya pemberontakan tersebut bisa berakhir saat Pangeran Cakraningrat dari Madura dan Raden Mas Sahid bersatu ikut membantu untuk memulihkan keadaan.
Dilansir dari Babad Sala yang ditulis R.M.Sajid, setelah kerajaannya rusak Paku Buwono II berunding dengan segenap kerabat keraton dan bupati di daerah.
Terdapat tiga kandidat wilayah yang akan difungsikan sebagai pengganti Kartasura, diantaranya : Desa Kadipolo (sekarang Taman Sriwedari), Desa Sala, Desa Sanasewu (sebelah barat Kecamatan Bekonang).
Akhirnya terpilihlah Desa Sala guna didirikan sebagai wilayah keraton yang baru.
Beberapa pertimbangan yang dilakukan adalah karena letaknya yang strategis karena dekat Sungai Bengawan Solo yang merupakan pusat transportasi perdagangan.
Bahkan sebagai wilayah perdikan, Desa Sala sudah maju dengan mengandalkan kemampuan ekonomi serta pertanian yang telah berkembang pesat.
Menurut Sejarawan Kota Solo, Heri Priyatmoko, pada saat pembebasan lahan Desa Sala untuk menjadi wilayah keraton terjadi suatu peristiwa yang menarik.
"Pihak Kasunanan Surakarta membeli sejumlah lahan dengan nominal yang pantas atau bahkan bisa dikatakan dengan ganti untung," katanya kepada TriunSolo.com.
Dikarenakan selain membeli pihak Kasunanan Surakarta juga mengizinkan para penghuni lama yang dipimpin oleh Ki Gede Sala untuk tetap tinggal di wilayah Desa Sala.
Heri juga menjelaskan, sejatinya pihak Kasunanan Surakarta bisa melakukan tindakan tidak etis seperti melakukan penyerangan atau penguasaan sepihak tanpa ganti rugi.
"Namun hal itu urung dilakukan demi menjaga nama wibawa dari pihak Kasunanan dan menghormati penduduk asli yang telah menetap sebelumnya," akunya.
Hal inilah yang menurut Heri menjadi suri tauladan bagi pemimpin saat ini dalam pengelolaan masalah agraria yang kerap terjadi saat ini.
"Pamor dan wibawa Ki Ageng Sala sebagai lurah Desa Sala juga mempengaruhi proses transaksi pembebasan lahan itu," aku dia.
Hingga saat membangun Desa Sala menjadi wilayah keraton, pihak kasunanan juga memberikan penghormatan kepada Ki Ageng Sala.
Pertama kasunanan membangun alun-alun di bekas rumah Ki Ageng Sala, karena dipercaya tempat tersebut sebagai pusat dari dari tata letak area keraton.
Kedua, Ki Ageng Sala diberikan ruang makam di tengah area keraton yang saat ini menjadi area cagar budaya.
Kritik Anggota DPRD
Peringatan hari jadi Kota Surakarta jatuh pada 17 Februari tiap tahunnya.
Meski telah berlangsung bertahun-tahun lamanya, peringatan tersebut dinilai masih memiliki sejumlah catatan.
Anggota DPRD Solo, Ginda Ferachtriawan mengatakan, masyarakat masih kurang memahami esensi dari peringatan setiap tanggal 17 Februari karena minim literasi.
Misalnya, kenapa tokoh-tokoh yang sering diziarahi para perangkat Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta.
Baca juga: Saat PKS Jadi Oposisi yang Dipimpin oleh Bapak dan Anak : Jokowi di Pemerintah Pusat, Gibran di Solo
Baca juga: HUT ke-21 Pasoepati, Suporter Rindu Gemuruh Suasana Stadion, Dukung Persis Solo Berlaga Kembali
Di antaranya, Kiai Ageng Sala, Kiai Ageng Henis, dan Yosodipuro.
"Keterangan terkait peran tiga tokoh tersebut dalam sejarah berdirinya Kota Surakarta, khususnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kurang lengkap," kata dia kepada TribunSolo.com, Selasa (16/2/2021).
Peran Kiai Ageng Sala, misalnya, yang mengikhlaskan lahan-lahan di desanya untuk menjadi lokasi berdirinya cikal bakal Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Di mana saat itu, Paku Buwana II hendak memindahkan keraton dari Kartasura ke lokasi yang baru, Desa Sala.
Ginda menerangkan waktu pemindahan keraton atau boyong kedaton dari Kartasura ke Desa Sala terjadi 17 Suro.
"17 suro itu apakah sama dengan 17 Februari atau tidak? Mengingat 17 Suro itu tahun jawa sementara 17 Februari adalah masehi. Itu yang perlu didalami," terangnya.
Selain itu, Ginda juga menyoroti penyebutan Kota Solo yang sampai saat ini masih terus digunakan.
"Secara administrasi, tidak ada satupun kalimat Solo di pemerintahan," ucapnya.
Oleh karenanya, Ginda berharap Pemkot Surakarta ikut serta dalam meliterasi masyarakat terkait sejarah dan esensi peringatan hari jadi Kota Surakarta.
Di antaranya khususnya digencarkan literasi atau pemahaman oleh Dinas Pariwisata.
"Kita berharap masyarakat bisa semakin tahu sejarah Kota Surakarta seperti apa," ujarnya. (*)