Berita Sragen Terbaru
Sisi Lain di Tanah Keraton Ing Alaga Sragen : Konon Muncul Ular Naga, Sapi-sapi Tak Berani Mendekat
Di balik tanah bekas reruntuhan Keraton Ing Alaga di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, tersimpan cerita aneh.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Di balik tanah bekas reruntuhan Keraton Ing Alaga di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, tersimpan cerita aneh.
Hal ini diungkapkan oleh warga dan tokoh di sana selama berpuluh-puluh tahun menempati wilayah di Dukuh Tawang tersebut.
Perangkat Desa Kandangsapi, Komar mengatakan di atas tanah keraton juga tumbuh pohon besar berusia tua.
Di bawah pohon tersebut, terdapat batu Lingga Yoni yang konon peninggalan Kerajaan Majapahit.
"Diarea batu Lingga Yoni dan pohon besar itu ada yang menunggu, wujudnya ular besar tak kasat mata, seperti naga bermahkota," ujar dia kepada TribunSolo.com, Rabu (15/9/2021).
Baca juga: Perbaikan Jalan Rp 118 Juta Disorot, Kades Tanjung Juwiring : Papan Proyek Ada,Tapi Tiba-tiba Hilang
Baca juga: Saat Gibran Puji Anies Baswedan : Beliau Kepala Daerah Sukses di Jakarta, Jadi Contoh Negara Lain
Tak hanya itu, lokasi bekas bangunan keraton di pinggir sungai Bengawan Solo, yang juga menjadi titik pertemuan dengan Kali Sawur juga menyimpan hal lain.
Seperti pada bangunan peninggalan umumnya, sering dikaitkan dengan hal-hal mistis.
Seperti yang pernah dialami salah satu warga sekitar, Warjito yang pernah merasakan langsung hal-hal mistis di sekitar bekas bangunan keraton itu, yang kini disebut sebagai tanah keraton.
Warjito menceritakan, ada kejadian aneh saat ia menggembalakan sapinya di sekitar tanah keraton.
Saat sapinya digiring menuju ke arah barat mendekati tanah keraton, sontak sapi-sapinya langsung berlari kembali ke arah timur.
"Saya giring ke arah barat, langsung lari ke timur sejadi-jadinya, karena saya merasa adalah daerah saya, ya saya tidak punya takut," katanya.
"Terus saya giring sapi-sapinya naik ke jalan, yang ada di sebelah timur," imbuhnya.
Kemudian, Warjito mencari tahu penyebabnya, dan ternyata ia mendapati sosok makhluk tak kasat mata.
"Wujudnya berambut panjang, ditubuhnya sudah banyak tumbuh alang-alang," paparnya.
Warjito yang tinggal tak jauh dengan tanah keraton, kemudian bertemu dengan peziarah yang berasal dari Yogyakarta.
"Peziarah dari Jogja itu berpesan, kalau bertemu dengan makhluk itu, jangan takut, dia adalah teman ayah saya, yang saat berziarah ke sini tertinggal," jelasnya.
"Dia baik, nggak nakal," tambahnya singkat.
Baca juga: Kisah Buruh Boyolali Kebingungan Anaknya Kelainan Jantung,Setiap Kali Berobat Bisa Habis Rp 600 Ribu
Menurut Warjito, di sekitar tanah keraton masih ada sendang, yang pada zaman dahulu digunakan sebagai pemandian raja.
Di Dukuh Tawang, terdapat 3 sendang, yang dulu saat bulan Sura dalam penanggalan Jawa, banyak digunakan peziarah untuk mandi.
Jejak Pangeran Mangkubumi
Tidak hanya Surakarta dan Yogyakarta saja, ternyata Kabupaten Sragen dulunya juga pernah ada bangunan keraton.
Informasi yang dihimpun TribunSolo.com, jika keraton di Sragen disebut sebagai Keraton Ing Alaga.
Keraron tersebut yang didirikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang saat ini dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I saat bergerilya melawan penjajah Belanda.
Keraton Ing Alaga terletak di Dukuh Tawang, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar.
Dulunya, keraton tersebut berdiri diatas lahan seluas kurang lebih 5 hektar, di mana kini warga desa setempat menyebutnya sebagai tanah keraton.
Baca juga: Wisata Religi Boyolali : Makam Syech Maulana Ibrahim di Kaki Gunung Merbabu
Baca juga: Di Daerah Sragen ini, Warga Percaya Dengarkan Lagu Sinden Bisa Bikin Terjebak di Dunia Lain
Saat ini, tanah keraton di Dukuh Tawang sudah berubah menjadi lahan pertanian dan membentuk cekungan, karena pernah digunakan sebagai tambang galian C.
Sudah tidak ditemukan bekas bangunan keraton di sana, namun sesekali petani dan warga sekitar menemukan bata raksasa berwarna merah yang diyakini bangunan keraton.
Perangkat Desa Kandangsapi, Komar mengatakan keraton tersebut diperkirakan didirikan pada sekitar tahun 1745, ketika Pangeran Mangkubumi keluar dari Kerajaan Surakarta untuk melawan penjajah Belanda.
"Dalam perjalanannya, Pangeran Mangkubumi terlebih dahulu singgah di Pandak Karangnongko, di sana cikal bakal berdirinya Kabupaten Sragen," ujarnya kepada TribunSolo.com, Rabu (15/9/2021).
Karena Dukuh Pandak Karangnongko dekat dengan jalur lintas provinsi Belanda, akhirnya Pangeran Mangkubumi pindah ke arah utara dan bertemu dengan Kiai Srenggi, mantan panglima Kerajaan Kartasura.
Kemudian perjalanan kembali dilanjutkan, Pangeran Mangkubumi sampailah di sebuah tempat, yang merupakan pertemuan dua sungai, yakni Sungai Sawur dan Bengawan Solo.
"Dan di sinilah, Dukuh Tawang, Desa Kandangsapi, Pangeran Mangkubumi mendirikan bangunan keraton sementara," singkatnya.
Di keraton tersebut merupakan tempat bertemunya 27 tokoh penting, yang mendukung Pangeran Mangkubumi untuk berperang melawan penjajah Belanda.
Keraton di Dukuh Tawang itu, digunakan sebagai tempat mengumpulkan kekuatan dan membuat strategi untuk melawan penjajah Belanda.
Saat masih berada di Desa Kandangsapi, Raja Pakubuwana II dikabarkan sakit, dan Pangeran Mangkubumi didesak pasukannya untuk menjadi raja, namun menolak.
Sampai akhirnya Raja Pakubuwana II meninggal dunia, yang kemudian sang anak, diangkat menjadi Raja Pakubuwana III oleh Belanda.
"Pangeran Mangkubumi yang ada di sini, itu mendengar kakaknya meninggal, kemudian dia diangkat oleh pasukannya di sini sebagai Raja Pakubuwana III Susuhunan Kabanaran, atau Sunan Kabanaran yang diabadikan dalam prasasti Prabegan," jelasnya.
Setelah kurang lebih satu hingga dua tahun Pangeran Mangkubumi berada di Dukuh Tawang, kemudian gerilya dilanjutkan ke Desa Jekawal, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen.
Dalam pelariannya dari Keraton Surakarta, Pangeran Mangkubumi dan pasukannya terus berperang melawan Belanda.
Baca juga: Patung Raja Keraton Solo Setinggi 4 Meter Berdiri di Boyolali, Ini Cerita Mengapa Dibangun di Sana
Baca juga: Pertama di Indonesia, Patung Raja Keraton PB VI Berukuran Raksasa Berdiri di Selo, Bukan di Solo
Kemudian, besarnya kekuatan Pangeran Mangkubumi membuat penjajah Belanda kewalahan, yang kemudian Belanda menyodorkan perjanjian damai.
Perjanjian tersebut diterima oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian wilayah Surakarta dipecah menjadi dua, yang saat ini disebut sebagai Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.
Pangeran Mangkubumi memegang kekuasaan di Keraton Yogyakarta, dengan Gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedangkan Raja Pakubuwana III tetap memegang kekuasaan Keraton Surakarta.
Menurut Komar, Sultan Hamengkubuwana IX pernah berkunjung ke Desa Kandangsapi, untuk melihat tapak tilas, perjuangan pendahulunya. (*)