Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Tak Sirna Dihantam Pandemi, Petani Kopi di Lereng Sindoro-Sumbing Sumringah Kumpulkan Pundi-pundi

Desa Muncer di lereng Gunung Sindoro-Sumbing kini kian berubah dengan tanaman kopinya. Bahkan produksinya dibawa ke Belanda untuk penjajakan eskpor.

Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Eka Fitriani
TribunSolo.com/Asep Abdullah
Hamparan tanaman kopi di Desa Muncar, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng). Panen raya secara serentak biasanya memasuki Juni-Juli. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Asep Abdullah Rowi

TRIBUNSOLO.COM – Sepanjang mata memandang, hamparan tanaman kopi begitu luas, tampak tak terhingga ada di mana-mana.

Semerbak aroma kas tanaman yang menjadi primadona bagi warga Desa Muncar, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng) itu, terasa di hidung.

Ditambah lagi udara nan sejuk karena letaknya di lereng Gunung Sindoro-Sumbing, seakan menambah syahdu setiap orang yang melewati di sepanjang hamparannya.

Belum lagi hilir mudik petani kopi, baik mereka yang berusia tua maupun muda mewarnai di setiap sudut perkebunan di desa tersebut.

Mereka tampak setia merawat tanaman-tanaman kopinya bak anak sendiri.

Sejumlah mesin roasting atau menyangrai kopi setelah panen hasil bantuan Astra yang harganya tak murah. Alat ini dipakai para petani, sehingga ada nilai lebih. Selama ini petani memasak nasi dengan tradisional atau menggoreng di tungku.
Sejumlah mesin roasting atau menyangrai kopi setelah panen hasil bantuan Astra yang harganya tak murah. Alat ini dipakai para petani, sehingga ada nilai lebih. Selama ini petani memasak nasi dengan tradisional atau menggoreng di tungku. (TribunSolo.com/Asep Abdullah)

Di sudut lain, sebagian warga yang sudah panen tampak menjemur kopi mentahnya di tengah terik matahari siang itu.

Bahkan keramahan warganya selaras dengan sedapnya kopi robusta yang terkenal berasanya caramel mocca dan tidak begitu pahit di lidah.

Monggo pinarak (silahkan mampir), ngopi dulu, kalau masuk rumah di sini (Muncar) wajib ngopi,” sapa warga Widiyatmoko kepada TribunSolo.com, Senin (27/12/2021).

Baca juga: Wakili Jateng, Warga Solo Sabet Juara Lomba Astra Honda Virtual Safety Riding Tingkat Nasional

Baca juga: Keseruan Sunmori Astra Bersama Komunitas CBR Jawa Tengah, Meriahkan Mandalika World Superbike 2021

Maklum, menurut petani kopi yang masih cukup muda 35 tahun itu, ada tradisi bagi tuan rumah wajib menyediakan kopi bagi tamu yang datang.

“Jika datang ke 10 rumah ya minum (disuguhi) kopi, 10 cangkir,” kelakarnya.

Ya, itulah gambaran sedikit aktivitas warga yang dikenal akan kopinya di dataran yang masih sangat hijau di ketinggian tanah 600 mdpl.

Kini Nasib Hidup Berubah

Nasib bapak satu anak kian berubah semenjak menekuni kopi, sehingga menjadi napas hidup bagi dirinya dan keluarganya.

Terlebih setelah Muncar masuk program Desa Sejahtera Astra (DSA) pada 2018 silam.

Sebenarnya, pria yang kini jadi pengurus Kelompok Tani Amrih Mulyo Muncar itu punya cerita tak menyenangkan sebelum menekuni kopi.

Dulu kata dia, banyak teman-temannya dari luar daerah yang menganggap sebelah mata dan mencibir desanya karena jauh dari peradapan kota.

“Mau ke desa kami kan melewati jalanan mirip hutan, banyak yang meremehkan oh ndeso, tapi kalau saat ini ketik Google akan tahu siapa itu Muncar,” tutur dia.

Belum lagi dia mengaku, saat itu orangtu tak memiliki modal untuk mengembangkan tanaman kopi seperti sebagian warga lainnya, sehingga harus mencari uang ke kota.

Gadis pendamping DSA Temanggung tengah menjemur kopi hasil panenan petani.
Gadis pendamping DSA Temanggung tengah menjemur kopi hasil panenan petani. (TribunSolo.com/Asep Abdullah)

Apalagi banyak di antaranya dikenal menjadi pencari kayu gelondongan untuk memasak.

Hal itu yang kemudian memantik dirinya untuk merantau ke Ibu Kota Jakarta usai lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Kalau orang yang tak punya, anaknya merantau, gajinya dibawa pulang untuk beli pupuk,” ungkap dia mengenang perjalanannya.

“Akhirnya memutuskan pulang ke desa dan seriusin tanam kopi,” aku dia membeberkan.

Dari itulah jalan hidupnya diubah, sehingga ada titik balik yang membuatnya tak malu kembali ke desa dan menekuni kopi yang sudah berjalan beberapa tahun ini.

Baca juga: Biodata Soni Suharyono, Direktur Kedai Kopi Cold N Brew Solo: Sukses Buka 6 Cabang Baru

Baca juga: Serunya Nobar MotoGP Astra Honda di Solo : Kompak Dukung Racer Indonesia Mario Surya Aji di Moto3

Maklum jauh sebelum itu ada stigma meremehkan soal profesi petani kopi di desanya karena menjadi petani hanya sebatas sampingan dan tak menjanjikan.

“Memang untuk menuju panen (dapat uang banyak) dari awal menanam hingga panen harus sakit-sakit dahulu, karena kopi bisa dipanen 5 tahun kemudian,” aku dia.

“Tapi kan investasi sampai puluhan tahun, kalau saat ini kehidupan jauh lebih baik, daripada ikut orang di kota, di desa bisa menghasilkan lebih kok,” jelasnya.

Bahkan kini dia tak perlu pusing, sudah ada mesin roasting dan berbagai alat lain yang harganya tak murah karena hasil bantuan Astra.

Mesin-mesin itu ditempatkan di worksop kelompok tani yang tersebar di sejumlah rumah.

“Kalau panen tinggal petik, jemur dan di-roasting (giling), kemudian kita olah jadi kopi aneka macam yang harganya lebih tinggi dibandingkan biasanya,” aku dia.

“Kalau biasanya Rp 26 ribu per kg dijual ke tengkulak, biasa jauh lebih jika diolah siap seduh, ada pasar online juga kita kemas kekinian,” terangnya.

Dia juga menaruh besar dengan menekuni tanaman kopi, mengingat bertahun-tahun ini coffe shop terus bertumbuh di mana-mana, sehingga dia meyakini kopi akan lestari.

"Kopi tak ada habisnya, kalau kemarin kita kena pandemi, saat ini kita berbenah. Pandemi saja warung kopi tumbuh di mana-mana, jadi semangat kami," jelas dia.

Hal senada juga dialami petani kopi lainnya, Sutrisno (49).

Pria yang juga Ketua Kelompok Tani Amrih Mulyo Muncar itu bahkan mengawali usaha tanaman kopi dari nol.

Meskipun sebelumnya sudah mentereng dengan gaji Rp 5 juta lebih di sebuah perusahaan, dia banting stir menjadi petani kopi di desa tempat dia dilahirkan.

Selain karena terpanggil agar kopi bisa lestari dengan anak-anak muda masuk di dalamnya, juga berharap bisa berdikari dan jadi ‘bos’ sendiri di desanya.

“Siapa sih yang berpikiran orang ngopi di cafe, eh kopinya banyak dari petani Muncar, nah ini yang kemudian saya terdorong menekuni jadi petani sajalah,” aku dia.

“Alhamdulillah hasilnya saat ini bisa lebih dari kita jadi pegawai ikut orang,” tuturnya.

Terlebih setelah Astra dengan program DSA-nya masuk 2018 hingga kini 2021, membawa harapan bagi petani untuk semakin sejahtara menjadi nyata.

Meskipun sempat ada yang menyangsikan, tetapi ternyata bantuan pembinaan secara materiil dan pendampingan sumber daya manusia (SDM) terbukti ampuh.

Mulai dari penataan SDM, menghasilkan kopi terbaik yang bisa masuk ke pasar ekspor, mesin kopi yang tak murah hingga pembangunan infrastruktur untuk wisata.

Tak banyak yang tahu, atap rumah dibuat beton ternyata untuk menjemur kopi. Saat musim panen raya seluruh atap di Desa Muncar lereng Sindoro-Sumbing itu penuh denga kopi.
Tak banyak yang tahu, atap rumah dibuat beton ternyata untuk menjemur kopi. Saat musim panen raya seluruh atap di Desa Muncar lereng Sindoro-Sumbing itu penuh denga kopi. (TribunSolo.com/Asep Abdullah)

“Petani kan masalah akhir pemasaran, sini sentranya kopi jadi yang diperlukan output yang menguntungkan petani dengan harga di atas rata-rata,” ungkapnya.

“Mengingat dulu petani-petani hanya asal tanam yang penting laku, padahal kualitas bisa ditingkatkan dan banyak turunannya sehingga bisa ada nilai tambah,” tutur dia.

Nah inilah yang kemudian dibina oleh Astra selama beberapa tahun dan menghasilkan output yang diharapkan oleh para petani.

“Lebih bangganya kami dipertemukan dengan buyer-buyer baru, bahkan kopi kita Muncar diuji cita rasa di Amsterdam Belanda, hasilnya bagus,” paparnya.

“Ini kan bagus banget, mengangkat kopi Muncar jadi mendunia, di kenal di negara-negara luar dan tak kalah dengan kopi lain,” ujar dia.

Belum lagi kata dia, ada buyer dari luar negeri yang meminta kopi 20 ton per bulan dengan kualitas tertentu.

Tak tangung-tanggung, biasanya dihargai antara Rp 25.000 per kg, di Belanda bisa Rp 40 ribu per kg sehingga petani bisa mendapatkan hasil berlebih.

Baca juga: Toyota Astra Motor Recall Avanza 2017-2019 yang Bermasalah, Cek Apakah Unit Anda Termasuk

Baca juga: Persis Solo Juara Liga 2, Coach Eko Masih Malu-malu Soal Masa Depan di Persis : Kita Lihat Nanti

Di mana buyer ini dipertemukan oleh Astra membuat tenang petani, karena ada pandangan lainnya sehingga tidak hanya dibeli oleh satu atau dua tengkulak saja.

Termasuk sebagain petani muda kini gencar menekuni pasar online karena potensial.

“Ini harapan yang besar petani Muncar untuk ekspor, jadi tak hanya penuhi lokal,” harap dia.

Sempat Sakit Tapi Bangkit

Sesepuh petani kopi Muncar, Jumiran (54) mengungkapkan, selama puluhan tahun sebagian besar warga yang menanam kopi hanya sebagai sampingan, sehingga ala kadarnya.

Berbeda dengan dirinya membuka lahannya khusus untuk kebun kopi, sehingga jika dibandingkan dengan petani lain hasilnya jauh berbeda.

Untuk itu dia selama ini mengajak petani kopi lainnya merubah nasib dengan apa yang ditanamnya karena jelas-jelas menghasilkan pundi-pundi.

“Bayangkan saja, kalau tanaman kopi utama artinya tak diselipi berbagai tanaman misal pohon sengon dan lainnya, hasilnya sangat-sangat memuaskan,” aku dia.

“Satu pohon punya saya sekali panen bisa berisi kopi 40-50 kg, tapi mereka yang tanam ala kadarnya hanya 8-10 kg, padahal jenis bibitnya sama,” ungkapnya memberkan.

Sebagai sesepuh, dia pun merangkul satu demi satu petani agar berubah cara tanam dan pengelolaan sepertinya, sehingga tak sedikit berguru kepadanya.

Mengingat kopi Muncar selalu laku, karena warung kopi dan café selama ini terus bertumbuh, memakai produk dari petani kopi dalam setiap olahan minumnya.

“Apalagi ada Astra, bersama-sama pemerintah juga mengupayakan produk kopi dari Muncar benar-benar kualitasnya terjaga dan menambah nilai lebih saat dijual,” harap dia.

Dia mengaku paling sedikit memiliki 300 pohon yang dikelola dengan pupuk kendang alami tanpa obat kimia, perawatan rutin dan tidak diberi peneduh atau ditumpangi pohon lainnya.

Jika harga kopi masih mahal-mahalnya Rp 25.000-Rp 26.000 per kg, maka dalam setahun menghasilkan uang yang tidak sedikit untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan.

“Ya memang tidak instan, tapi kalau ditekuni hasilnya bisa dikalikan saja saat panen,” aku dia.

Meksipun sempat sedih diterpa pandemi Covid-19 selama dua tahun ini, Jujuk sapaan akrabnya mengaku  tetap bersyukur karena harga terendah hanya sampai Rp 20.000 per kg untuk kopi siap goreng dan giling.

“Kemarin tidak beruntung, hampir semua petani kopi gitu, tapi sakit ini harus membuat kita bangkit, ini saja sudah mulai dihargai Rp 26.000 per kg, kan bagus,” ujar dia.

Jujuk yang sehari-hari juga Kepala Dusun (Kadus) itu menambahkan, jika di dalam Desa Muncar dari 1.000 kepala keluarga (KK) lebih, mayoritas 80-90 persen menanam kopi.

Memang petani kopi di daerahnya beragam, ada yang kecil, menangah dan besar sekalipun, juga ada yang taman ala kadarnya sampai yang benar-benar serius seperti diirnya.

 “Ya bisa dinamakan lumbung kopi, karena saat panen raya Juni-Juli, ratusan hingga seribuan ton kopi per tahun dihasilkan dari Muncar,” jelas dia.

Kopi Muncar Sampai Belanda

Penanggungjawab Program Desa Sejahtera Astra (DSA) Temanggung, Sofiyudin Achmad memaparkan, apa yang sudah diperjuangan siang malam sejak 2018, membuahkan hasil.

Tak hanya peningkatan SDM karena pengolahan usaha belum efektif, bahkan pendapatan financial petani meningkat, apalagi sebagian orang mengumpulkan kayu gelondongan saja.

“Dari produksi kopi bisa dapat Rp 30 juta sebulan, sementara minapadi bisa Rp 25 juta karena penataan segala bidang,” kata sosok penerima apresiasi Satu Indonesia Awards 2017 itu.

Di balik tanaman kopi di Muncar, sebenarnya ada cerita sangat panjang asal mula kopi berkembang di sana yakni sejak zaman penjajahan Belanda.

Baca juga: Ini Arabika Gondosini dan Robusta Brenggolo, Kopi dari Tanah Wonogiri 

Baca juga: Harga Minuman, Snack & Makanan di Bundaran HI Tawangmangu : Kopi 5 Ribu, Indomie Tante Rp 8 Ribu

Hal ini menurut dia, terbukti dari prasasti VOC 1619  yang berada di bukit Tanggulangsi Desa Muncar dengan sebutan wilayah terbaik untuk pengembangan budidaya kopi Robusta.

Karena butuh sentuhan ‘magis’ agar lebih maksimal dan dikenal di mana-mana, Astra masuk melalui program DSA sejak 2018 silam.

“Banyak program pembinaan, di antaranya kami mengemas Festival Panen Raya Kopi Sang Intan Merah Bumi Phala, kalau panen raya begitu gegap gempita,” jelas dia.

Selama beberapa tahun bersama kelompok tani, dia melakukan kerja keras agar kopi Muncar semakin moncer di pasaran dalam dan luar negeri.

Yakni kata dia, diawali dari 2018-2019 dengan upaya klasterisasi produk unggulan, penguatan kelembagaan berbasis satu pintu hingga pembentukan kelompok usaha bersama.

Kemudian setahun berikutnya dengan membuat strategi perluasan produk turunan dan akses pasar, hingga peningkatan promosi mulai branding, advertising dan selling.

“Baru tahun ini (2021), perluasan buyer kopi beragam rasa karena turunan, promosi ke Belanda langsung dan pembentukan Koperasi Mulyo Migunani (MM Group),” tutur dia.

Hasilnya bahkan merambah ke daerah-daerah lain, sehingga mitra DSA pun menjamur di lereng Gunung Sindoro-Sumbing itu.

Sofi sapaan akrabnya menyebut, sebelumnya pada 2018 jumlah desa binaan hanya 3 desa, pada 2020 menjadi 4 desa dan paling banyak tahun ini menjadi 14 desa.

Salah satu hasil turunan kopi yang sudah dikemas usai pembinaan DSA. Sebelumnya petani hanya menjual biasa, panen dan pengeringan begitu saja.
Salah satu hasil turunan kopi yang sudah dikemas usai pembinaan DSA. Sebelumnya petani hanya menjual biasa, panen dan pengeringan begitu saja. (TribunSolo.com/Asep Abdullah)

Dia menambahkan, warga yang terpapar dengan adanya program pengembangan desa juga mengalami kenaikan signifikan, yakni pada 2018 hanya 200 orang, bertambah pada 2019 menjadi 350 orang dan 2020-2021 total 5.500 orang.

“Belum lagi penyerapan tenaga kerja, banyak yang kemudian dapat penghasilan untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya,” ungkapnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, tanaman kopi menjadi pemantik perkembangan desa sehingga kemudian mengubah desa yang biasa-biasa saja menjadi kawasan pariwisata pedesaan dengan memoles segala potensi dan daya tariknya.

Bahkan ada yang menyebutnya Muncar adalah ‘Balinya Jawa Tengah’.

Bagaimana tidak hamparan kopi di mana-mana, sawah juga menghiasi banyak sudut, dan alamnya yang hijau royo-royo membawa kenyamanan bagi setiap pengunjungnya.

“Selain turunan kopi, ada turunan lainnya seperti pariwisata dan ekonomi kreatif (budaya), sehingga ada income tambahan bagi warganya,” harap dia.

“Hamparan terasering persawahan ala ubud yang dikelilingi perbukitan melingkar,” akunya.

Menurut Sofi, sejak dikemas menjadi kawasan wisata, Muncar tak hanya melulu soal kopi, tetapi ada banyak hasil bumi yang bisa dibanggakan kepada wisatawan.

Baca juga: Harga Minuman, Snack & Makanan di Bundaran HI Tawangmangu : Kopi 5 Ribu, Indomie Tante Rp 8 Ribu

Baca juga: Ini Daftar Obat Kuat Ilegal yang Bisa Berdampak Buruk pada Kesehatan, Banyak Berbentuk Kopi

Mulai dari nira dan produk gula semutnya, pisang termanis, panili, padi, pala wija hingga aneka tanaman unggulan lainnya.

Bahkan selama ini wisatawan yang hadir disuguhkan paket wisata, mulai disiapkan homestay, penampilan seni budaya, tour desa dengan jeep, menikmati sunset di gardu pandang, jembatan warna-warni, cara memanen kopi di kebun hingga cara mengolahnya.

“Sekarang  valuasi asset DSA Temanggung sudah Rp 1,1 miliar, mulai dari aset tetap, tumbuh, bergerak dan berkembang,” terang dia.

“Bahkan warga yang diajak kolaborasi missal sewakan rumahnya untuk homesty, juga ada pemasukan lainnya,” harapnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved