Berita Sragen Terbaru
Susahnya Warga Jenar Cari Minyak Goreng, Jauh-jauh ke Pusat Kota Sragen, Pulang dengan Tangan Hampa
Sudah berbulan-bulan, warga di Kabupaten Sragen kesulitan mencari barang bernama minyak goreng.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Sudah berbulan-bulan, warga di Kabupaten Sragen kesulitan mencari barang bernama minyak goreng.
Pemilik warung di Dukuh Margomulyo, Kecamatan Jenar, Ratih mengatakan kesulitan mendapatkan minyak goreng sejak adanya kebijakan subsidi.
"Susah nggak ada minyak goreng, cari di pasar Banyuurip nggak ada, pedagang juga nggak dapat minyak gorengnya," katanya kepada TribunSolo.com, Rabu (16/3/2022).
"Katanya di Sragen Kota susah, di sini pinggiran juga ikut susah cari minyak goreng," aku dia.
Ratih menjual minyak goreng dengan harga Rp 20.000 per liternya.
Ia sempat menjual minyak goreng subsidi Rp 14.000, namun tidak berlangsung lama.
Setelah kebijakan subsidi, stok minyak goreng semakin hari semakin lama hingga saat ini.
Baca juga: Terjadi Lagi, Emak-emak Meninggal saat Antre Minyak Goreng, Keluarga Minta Pemerintah Cari Solusi
Baca juga: Catat, Distributor Berani Menimbun Minyak Goreng Bakal Diseret, Kapolres Klaten : Kita Tindak Tegas!
Bahkan, ia yang merupakan pemilik warung hanya boleh membeli dua liter saja seperti kebanyakan warga yang lain.
"Meski pemilik warung, hanya boleh beli dua liter saja, beli kardusan tidak boleh," jelasnya.
Minyak di Boyolali
Kelangkaan minyak goreng membuat produsen keripik usus di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali merana.
Bagaimana tidak, biasanya membuat 4-5 kuintal kini hanya 2,7 kuintal per hari.
Belum lagi 10 karyawan yang biasanya setiap hari masuk kerja, kini digilir.
Setiap karyawan hanya bekerja dalam tiga hari saja.
Karyawan yang masih bisa kerja itu tak lepas dari jerih payah pemiliknya untuk mencari minyak goreng.
Sudah harganya tinggi, barangnya juga sulit dicari pula.
"Dulu migor disetor, sekarang sulit carinya," terang produsen keripik usus, Ririn Trisnawati (40) di Dukuh Peni, Desa Jembungan, Selasa (15/3/2022)
Dia curhat, jika selama berbulan-bulan ini hanya dapat minyak goreng sekenanya.
"Minyak curah juga susah, sekarang beli saja 3 karton juga harus beli barang lain, seperti makaroni 10 kilogram yang harganya Rp 123 ribu," jelasnya.
"Jadi keberatan saya," aku dia menekankan.
Produsen lain, Setianingsih (56) di Dukuh Jetak, Desa Jembungan mengeluhkan hal yang sama.
Dia kesulitan mendapat migor baik subsidi maupun non subsidi.
Diapun setiap pagi, hari harus mengantri dari toko modern satu ke toko modern lainnya hanya untuk mendapatkan migor.
Baca juga: Amien Rais Kritik Keras Wacana Penundaan Pemilu 2024: Hampir Semua Jadi Yes Man di Rezim Jokowi
Baca juga: Biodata Yulius Bagus Triyanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermasdes) Boyolali
"Sehari harus mengantri ke 5-6 toko. Dapatnya juga tidak mesti,” jelasnya.
Banyaknya pemilik toko yang hanya memberikan migor kepada satu pembeli, menjadikan tak hanya dia saja yang harus pergi ke toko untuk mencari migor.
Suaminya pun diajak untuk bersama-sama membeli migor ke toko-toko yang masih menyediakan migor.
“Saya juga mengajak suami buat bantu beli. Karena kebutuhan minyak banyak. Itupun kadang cuma dapat 3 kemasan, pernah juga dapat satu karton. Tapi jarang dapatnya," terangnya.
Diapun berharap kelangkaan migor ini bisa segera teratasi.
Apalagi, tak lama lagi puasa dan lebaran yang merupakan moment tepat bagi pelaku UMKM untuk mendapat keuntungan.
“Saat puasa dan lebaran, permintaan keripik usus ini akan meningkat,” jelas dia.
Memperkecil Produksi
Kelangkaan minyak goreng (Migor) membikin produsen keripik usus di Boyolali kelabakan.
Bagaimana tidak, sudah harganya tinggi, barangnya tidak ada ditambah lagi kualitasnya juga dinilai turun.
Para produsen pun tak bisa berbuat banyak, selain mengurangi produksi keripiknya dan menggilir para pekerjanya.
Ririn Trisnawati (40) salah satu produsen keripik usus, sangat merasakan dampak kelangkaan migor ini.
Sebelum kelangkaan Migor ini, warga Dukuh Peni, Desa Kwiran, Kecamatan Banyudono, Boyolali itu bisa mengolah antara 4 sampai 5 kuintal usus mentah.
Namun, belakangan ini karena sulitnya mendapatkan migor dia terpaksa mengurangi produksinya.
“ Sekarang ini (produksinya) tinggal 2,5 sampai 2,7 kuital sehari,” katanya, kepada TribunSolo.com, Selasa (15/3/2022).
Turunnya produksi ini juga berdampak pada 10 pegawainya.
“ (pegawai) yang masuk kami gilir, jadi tiga hari sekali gantian yang masuk,” jelasnya.
Dia mengaku sehari membutuhkan 100 liter migor.
Awalnya meski harganya mahal, tapi dia masih bisa mendapatkan migor tersebut.
Namun, sejak adanya subsidi migor, migor justru semakin langka.
Bahkan, akibat kelangkaan migor ini dia sempat mengehentikan sementara produksinya.
Baca juga: Demi Migor Murah, Warga di Solo Rela Antre 30 Menit Lebih di Keraton Kasunanan, Antrean Mengular
Baca juga: Minyak Goreng Murah di Swalayan Laris Klaten : Beli Pakai Kartu Antre, Minimal Belanja Rp 25 Ribu
Selama tiga hari, Ririn tidak mendapat pasokan migor.
Beruntung belakangan ini dia bisa kembali mendapat migor.
Tapi dengan syarat, dia juga musti membeli produk penyerta lainnya.
"Dulu migor disetor, sekarang sulit carinya. Maka sedapatnya aja, biasanya dapat kemasan yang harga yang mahal. Karena migor curah juga susah. Sekarang beli migor saja 3 karton juga harus beli barang lain, seperti makaroni 10 kilogram yang harganya Rp 123 ribu. Jadi keberatan saya," jelasnya.
Selain itu, dia menilai kualitas migor saat ini juga turun.
Hal itu terlihat dari proses penggorengan keripik usus yang tak kunjung kering.
Bahkan, baru dibuat goreng tiga kali saja, migor ini sudah menimbulkan busa yang melimpah ruah.
“ Kalau minyak (migor) dulu itu begitu masuk, tak lama kemudian kerikik usus bisa segera terangkat (kering), tapi sekarang, penggorengan jadi lebih lama,” jelasnya.
Penggorengan yang lebih lama ini terukur dari capaian usus yang berhasil digoreng.
Sebelumnya, seorang pekerja dalam sehari bisa menggoreng antara 110-115 kilogram usus.
“ Tapi akhir-akhir ini, dapat (menggoreng) 90 kilogram dalam sehari saja tidak bisa tercapai,” jelasnya.
Hal tersebut tentu berimbas pada penggunaan gas LPG. Semakin lama penggorengan, gas LPG yang digunakan juga semakin banyak.
Belum lagi harga tepung terigu dan tapioka yang ikut merangkak. Satu sak terigu ukuran 50 kilogram seharga Rp 187 ribu dan tapioka seharga Rp 235 ribu/sak.
“ Harganya naik hingga Rp 7 ribu/sak. Kemudian harga bawang merah kupas juga naik jadi Rp 32 ribu/kilogram,” pungkanya.
(*)