Berita Sragen Terbaru
Kisah Sukarno, Warga Sragen Yang Sulap Biji Kapuk Randu Jadi Minyak Goreng Alternatif
Warga di Sragen rupanya masih bisa memanfaatkan bahan alami lainnya sebagai bahan alternatif di tengah kelangkaan minyak goreng dari kelapa sawit.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Adi Surya Samodra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Warga di Sragen rupanya masih bisa memanfaatkan bahan alami lainnya sebagai bahan alternatif di tengah kelangkaan minyak goreng dari kelapa sawit.
Seperti yang dilakukan, Sukarno, warga di Dukuh Bunder RT 15, Desa Kedungwaduk, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen.
Dia memanfaatkan biji randu kapuk atau disebut biji klentheng menjadi minyak goreng alternatif.
Sukarno menceritakan ia awalnya memiliki usaha berjualan kasur yang berisi kapuk, yang hingga kini masih digunakan sebagian warga Sragen.
Ia hanya mengambil kapas bewarna putih kecoklatan dari buahnya, dan bijinya kemudian ia buang.
"Dulunya dibuang, termasuk limbah, lalu ada orang yang beli, waktu itu saya masih belum tahu manfaatnya untuk apa bijinya ini," katanya kepada TribunSolo.com, Rabu (16/3/2022).
Karena penasaran, akhirnya ia mencari manfaat dari biji klentheng di internet, dan menemukan ternyata bisa dibuat menjadi minyak.
Juga melalui internet, kemudian ia membeli mesin press biji khusus untuk pembuatan minyak, yang ia datangkan dari Negara China.
Baca juga: Inilah Tugimin, Pengusaha Sukses yang Hanya Lulusan Paket B, Tapi Angkat Derajat Emak-emak di Sragen
Baca juga: Tak Hanya Ajak Emak-emak di Sragen Mandiri Secara Ekonomi, Tapi Mau Melestarikan Ekosistem Hutan
Setelah mesin datang, Sukarno kemudian memulai produksi.
"Pertamanya buah kapuk randu dijemur dulu, kemudian diayak yang pertama menggunakan mesin blower, karena masih ada sisa kapasnya, diayak kedua kalinya hingga benar-benar terpisah," jelasnya.
Setelah biji klenthengnya terpisah, kemudian dijemur dibawah terik matahari hingga kering.
Proses pengeringan juga bisa menggunakan mesin oven, namun belum dilakukan oleh Sukarno karena terkendala biaya untuk mesin oven.
Setelah dipastikan kering, kemudian biji-biji bewarna hitam tersebut dimasukkan ke mesin khusus press minyak.
Dari mesin tersebut kemudian keluar cairan bening bewarna kuning kecoklatan dan juga keluar ampas atau biasa disebut bungkil, yang ternyata bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
"Bungkilnya saya kirim ke pabrik pakan ternak di Boyolali dan Klaten, per kilogramnya saya jual Rp 3.500," singkatnya.
Dalam sehari, Sukarno yang dibantu 8 orang karyawan bisa menggiling hingga 2 ton biji klentheng yang bisa menghasilkan minyak 20 persennya.
Sukarno menjual minyak klentheng dengan harga Rp 17.000 per kilogramnya.
Menurut Sukarno, sebenarnya minyak yang keluar tersebut bisa langsung digunakan.
Ia pernah mencoba sendiri, namun hasilnya agak getir, yang dikarenakan kurang bersih saat penyaringan.
Dikarenakan minyak klentheng harus melewati satu tahap lagi, kemudian ia jual ke salah satu perusahaan di Jakarta.
"Kalau jadi minyak goreng harus melalui dua proses, saya ini cuma jualnya curah, kalau pihak lain untuk proses kan harus izin Badan POM, warga sini nggak ada yang bisa proses," ujarnya.
Selama 35 hari sekali, ia bisa mengirim sebanyak 6 ton minyak klentheng yang dihasilkan dari dua mesin penggilingan.
Usaha yang telah ia jalankan selama puluhan tahun tersebut, ternyata awalnya minyak klentheng produksinya sempat tidak laku.
Ia tawarkan ke Semarang dan Jakarta tidak ada yang tertarik untuk membeli minyak kletheng.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan perusahaan yang tepat, dan hingga kini minyak klenthengnya semakin mudah dijual, karena semakin banyak dicari orang.
"Kalau dulu susah jual minyaknya, sekarang yang susah bahan bakunya, sudah mulai berkurang, biasanya buah kapuknya didatangkan dari Ponorogo dan Pati," pungkasnya. (*)