Berita Daerah
Kini Harus Bawa HP ke Pasar Buat Beli Minyak Goreng Curah, Emak-emak Takut Jadi Korban Copet
Pembeli minyak goreng merasa aneh dengan tujuan pemerintah menggunakan PeduliLindungi untuk transaksi. Mereka hanya minta pemerintah tidak merepotkan.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Dirinya berharap lompatan digital tersebut bisa menjadi solusi, bukan malah menghambat proses transaksi jual beli.
Baca juga: Aturan Beli Minyak Goreng Curah Pakai PeduliLindungi Belum Berlaku di Solo
"Tentunya yang konkret aja lah cara atau aturannya, pemerintah punya cara sendiri untuk tahu bagaimana perputaran minyak goreng di lapangan," tambahnya.

Engkus Kosiman (49), pedagang sembako yang sudah berdagang sejak 2001 juga mengeluhkan hal sama.
Ia menyampaikan di lapangan rata-rata pembeli adalah ibu-ibu dengan usia lanjut.
"Makanya cek di lapangan kaya gimana situasinya, semuanya serba cepat. Pelayanan yang normal (tanpa aplikasi) sudah dijalankan lama, saya rasa cukup baik," ungkapnya.
Selain itu, dirinya juga tidak menjamin semua pembeli bisa menggunakan PeduliLindungi untuk membeli minyak goreng.
Baca juga: Ekonom UNS Solo Sebut Kebijakan Beli Minyak Goreng Curah Wajib Pakai PeduliLindungi Tidak Tepat
"Memang beberapa ada yang udah, saya akui, tapi nggak sedikit yang nyuruh orang lain, kaya tukang ojeg, pembantunya mungkin, atau orang yang udah paham," lanjutnya.
Engkus mengaku, selama ia berdagang dan menjual sembako, tak banyak yang terlihat sudah terbiasa dengan Handphone berjenis Android.
"Jangankan pembeli, saya saja punya masih susah menggunakannya, apalagi nyuruh dipakai alat transaksi, repot," ujarnya.
Dirinya berpendapat mungkin ide pemerintah menggunakan aplikasi PeduliLindungi untuk membeli minyak goreng adalah untuk mengontrol perputaran minyak atau mempercepat proses transaksi.
Baca juga: Mendag Zulkifli Hasan Sebut Minyak Goreng Curah Akan Dikemas Sederhana dan Lebih Baik, Bukan Dihapus
Namun kenyataan di lapangan, kata Engkus, proses ini memperlambat dan membuat pedagang harus kerja ekstra.
"Kalau harus jujur emang nggak praktis, nambah kerjaan iya. Saya harus data, buka HP, harus melayani pembeli, udah lapis tuh kerjanya," kata dia.
Sementara itu, salah satu pembeli di pasar tradisional Banjaran, Tati Kustiati (37) mengaku kerepotan dengan keinginan pemerintah tersebut.
Dirinya juga mengaku tak nyaman harus membawa HP ke pasar, terlebih soal keamanan.
"Kita nggak bisa menjamin yah. Seketatnya keamanan di pasar, bisa aja ada copet. Ini bukan merendahkan pasar ya, tapi saya lebih ke situ khawatirnya," kata Tati.
Baca juga: Catat! Masyarakat yang Beli Minyak Goreng Curah Rp14 Ribu Wajib Pakai NIK Mulai 11 Juli 2002