Berita Solo Terbaru
Menilik Gedung SMPN 10 Surakarta: Cagar Budaya Terlupakan,Dulu Sekolah Putri Bangsawan Mangkunegaran
Siapa sangka SMPN 10 Surakarta dahulunya merupakan tempat putri bangsawan Mangkunegaran menimba ilmu. Dahulu sekolah itu bernama Van Deventer School
Penulis: Eka Fitriani | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Laporan Wartawan Tribunsolo.com, Eka Fitriani
TRIBUNSOLO.COM, SOLO – Kota Solo memiliki banyak bangunan cagar budaya. Saking banyaknya, beberapa seolah terlupakan meski sejarah penting terjadi di lokasi tersebut.
Salah satunya Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 10 Surakarta.
Meski saat ini memiliki gedung kelas dan aula yang terbilang modern, nyatanya sekolah itu merupakan bangunan cagar budaya yang dilindungi.
Dahulu SMPN 10 Surakarta yang berlokasi di jalan Jl. Kartini No.12, Timuran, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta ternyata merupakan sekolah putri bangsawan Mangkunegaran.
Baca juga: Selama Jembatan Jurug Solo Direhab Mulai 18 September 2022, Kendaraan Jenis Ini Tak Boleh Lewat
Baca juga: Kecelakaan Karambol di Jalan Solo-Semarang : Libatkan 5 Kendaraan, Mulai Wuling hingga Truk
Hal ini tidak lepas karena SMPN 10 Surakarta yang dahulu bangunannya menyambung dengan SMPN 5 Surakarta dan SMPN 3 Surakarta, milik Keraton Mangkunegaran.
“Sekolah putri mangkunegaran itu dulu bernama Van Deventer School,” kata Kepala Bidang Pembina Sejarah & Pelestarian Cagar Budaya Kota Solo, Sukarno, kepada TribunSolo.com, Selasa (13/9/2022).
“Dulunya tempat tersebut bangunannya dibangun pada 1917, sedangkan sekolah Van Deventer School diresmikan pada 1 Juli 1927,” katanya.
Peresmian tersebut dilakukan oleh Gusti Kanjeng Ratu Timur Mangkunegara VII.
Usai diresmikan, bersama dengan Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang merupakan Sekolah Bumiputra untuk bangsawan, HIS kemudian menjadi SMPN 5 Surakarta.
“Mangkunegara VII dekat dengan Mr. Conrad Theodor van Deventer dan mendorong untuk membuat sekolah putri,” katanya.
Mangkunegara VII sendiri memang memiliki visi mencerdaskan bangsa.
Sehingga dia banyak membangun sekolah, terutama sekolah dasar.
Baca juga: Pupus Sudah Asa Penjaga Sekolah di Solo Naik Haji Sekeluarga, BI Tak Bisa Ganti Uang Dimakan Rayap
Baca juga: 5 Lokasi Kuliner Malam di Solo yang Wajib Dikunjungi, Banyak Makanan Kekinian dan Legendaris
Sukarno membeberkan bahwa Van Deventer School tersebut ditujukan untuk siswi berusia 12-15 tahun.
Uniknya, Van Deventer School tersebut mengajarkan berbagai keterampilan keputrian.
Antara lain seperti menjahit, memasak, menyulam, membatik hingga menyetrika.
Sempat Jadi Asrama Tentara Belanda
Bangunan SMPN 10 Surakarta dahulu menyatu dengan lokasi SMPN 5 Surakarta dan SMPN 3 Surakarta yang kini sudah dipindah.
Sukarno membeberkan ketiga tempat tersebut punya peranan penting dalam sejarah pendidikan di Kota Solo.
“SMPN 5 Surakarta tak dapat dipisahkan dengan sejarah Mangkunegaran di bidang pendidikan,” kata Sukarno.
“Selain Kasunanan, di Solo dulunya Mangkunegaran punya peranan penting dalam sejarah pendidikan,” katanya.
Menurutnya, ketiga sekolah tersebut sempat menjadi satu kompleks sekolah bangsawan atau HIS bernama Siswo, Sisworini, dan Van Deventer School.
Adipati Arya Mangkunegaran VI saat itu mulai membuat sekolah di tahun 1912.
Namun, di tahun 1940-an, lokasi tersebut pernah berturut-turut diambil alih tentara Jepang.
Baca juga: Usaha Kue K.O Digempur Pandemi, Emak-emak di Boyolali Bangkit Jualan Bayam, Raup Rp1,5 Juta/Minggu
Baca juga: Jemput Anak Sekolah, Ayah di Karanganyar Kaget, Motor Yamaha Byson Miliknya Tiba-tiba Terbakar
“Selain sempat diambil tentara Jepang, kompleks tersebut juga sempat dijadikan Asrama Tentara Belanda,” jelasnya.
Kedudukan tentara Belanda kala itu dimulai pada masa Agresi II sejak 20 Desember 1948.
Setelah itu, sejak tahun 1950 HIS Siswo berubah statusnya menjadi SMPN 5 Surakarta.
Lantaran ketiga bangunan itu adalah cagar budaya di Solo, maka Sukarno mengimbau kepada pihak-pihak terkait untuk melestarikannya.
Di Kota Bengawan sendiri, Sukarno menyebut total ada 170 cagar budaya.
Hanya saja yang sudah selesai dikaji angkanya masih tertahan di 95.
“Kami bekerja melakukan pengkajian setiap setahun dengan 5 projek,” katanya.
“Pengkajian tersebut meliputi struktur, bangunan, Kawasan, situs hingga benda,” pungkas Sukarno.
(*)