Berita Sukoharjo Terbaru
Operator Seluler Tak Berhenti Menyala, Gitar Ngrombo Sukoharjo Mendunia
Puluhan tahun lamanya, ribuan orang di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo menggantungkan nasib dari gitar.
Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Naufal Hanif Putra Aji
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Asep Abdullah Rowi
TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Puluhan tahun lamanya, ribuan orang di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo menggantungkan nasib dari gitar.
Itu berawal saat penjualan masih manual, alat komunikasi minim hingga hadirnya operator seluler yang menjadi sinar bagi kehidupan.
Saat kaki memasuki desa, berbagai hal berkaitan dengan alat musik petik itu seakan memanjakan mata, ada di mana-mana.
Mulai dari gapura tak biasa berbentuk gitar raksasa hingga ornamen-ornamen gitar menghiasi sepanjang mata memandang di desa tersebut.

Ya, sejak tahun 1960-an, desa itu menjelma menjadi produsen gitar yang hasilnya dijual di dalam hingga luar negeri.
Suara sahut-menyahut amplasan kayu hingga mesin kompresor melengkapi suasana produksi dari hari ke hari yang tak pernah berhenti.
Ketua Klaster Gitar Amanah Ngrombo Baki, Sumardi mengungkapkan, lestarinya perajin gitar karena kegigihan, semangat berinovasi hingga fasilitas yang memadai.
Satu di antaranya adalah alat komunikasi berupa operator seluler.
Karena sejak munculnya telekomunikasi seluler di Indonesia sekitar 1986-an, pemasaran kian meroket di mana pembeli datang dari berbagai wilayah.
Sehingga banyak perajin yang memasarkan barangnya melalui online karena dukungan seluler dan internet yang lancar.
"Perajin adaptasi dengan perubahan zaman seperti halnya teknologi itu (seluler)," ungkap dia kepada TribunSolo.com, Senin (19/12/2022).
Bahkan terpaan pandemi Covid-19, banyak perajin tak patah arang dengan menggencarkan pasar online yang notabene pembelinya lebih beragam.
Baca juga: Cara Bagi Pulsa pada Operator Telkomsel, Indosat, dan XL, Bisa Lewat SMS atau Kode Ini
Baca juga: Dampak yang Didapatkan Pelanggan Setelah Indosat dan Tri Merger, Nelpon Gratis 200 Menit per Hari
"Pandemi memang cobaan, tetapi perajin bisa melaluinya. Segala macam digerakkan mulai dari internet, telp sana-sini. Intinya mengoptimalkan teknologi," jelasnya.
Maklum jumlah perajin yang mencapai 225 orang yang berskala kecil hingga besar, menggantungan hidup di produksi gitar.
Tak hanya perajin, tetapi setiap mereka memiliki keluarga, sehingga gitar menjadi urat nadi kehidupan di Ngrombo.
"Ribuan orang bernapas melalui petikan gitar," jelasnya.
Hasilnya pun bukan kaleng-keleng, setiap hari ribuan gitar dari yang murah seharga ratusan ribu hingga unlimited mencapai juataan rupiah dihasilkan di situ.
Terlebih menurut dia, pasar yang tercipta tak hanya di dalam negeri saja, tetapi di luar negeri.
Perputaran uang di Ngrombo pun cukup fantastis, karena setiap hari mencapai miliaran rupiah.
"Gitar Ngrombo sudah sampai ke Yunani, Malaysia, Filipina hingga negara-negara lain seperti Papua Nugini dan Somalia," ungkap dia.
"Ada yang fokus jualan di dalam, banyak yang hasilnya ke pasar manca negara," akunya.
Salah satu di antaranya yang memanfaatkan teknologi informasi adalah Sunarto.
Pria 41 tahun itu, salah satu dari ratusan perajin gitar yang setia menekuni usahanya, meski sebelumnya tak mudah harus jatuh bangun.
Hanya lulusan SMA, Narto sapaan akrabnya, sempat tak bisa berbuat banyak dengan ijazahnya.
Namun karena kegigihannya dan tak malu belajar, dia memilh jadi buruh di usaha gitar.
Dari situ, perjalanan Narto di dunia industri gitar pada tahun 2.000 dimulai.
"Dulu mburuh dulu di tempat usaha gitar yang besar. Belajar dari nol, mulai ngamplas hingga membuat stang hingga body gitar sendiri," aku dia mengenang perjalannya.
Bertahun-tahun ikut orang dan mahir, dia lantas izin kepada sang pemilik untuk resign karena akan membuka produksi gitar sendiri di rumahnya meski kecil-kecilan.
Bukan untung, ternyata usahanya sempat butung.
"Pusing tujuh keliling. Sempat vakum setahun karena awal-awal bingung cari pembeli," tuturnya.
Ternyata dari rehatnya hampir setahun, Narto seakan tak bisa jauh dari dunia gitar.
Ayah satu anak itu kemudian menghidupkan usahanya yang sempat vakum tersebut.
Singkatnya, beruntung saat itu tahun 2007 operator seluler, internet dengan media sosial-nya (medsos) menyapa dalam kehidupannya.

Salah satunya operator Tri yang kemudian marger dengan PT Indosat Ooredoo Tbk atau bernama Indosat Ooredoo Hutchison.
"Titik balik ada di tahun itu, mulai dari coba-coba manfaatkan HP dan medsos, meski saat itu saya akui sempat gaptek," terang dia.
"Saya pelajari, tak malu tanya sana tanya sini gimana caranya manfaatkan medsos," jelasnya.
Hasilnya nyata, bahkan di luar dugaannya.
Gitar hasil buatannya yang dipasarkan di online itu, ternyata nyantol di berbagai pulau, mulai Sumatera, Kalimantan, Bali hingga Palembang.
Dia menyadari, pola pemasaran akhirnya diubah total sehingga tidak hanya menunggu, tetapi jemput bola sang calon pembeli melalui platform digital.
"100 gitar sayur dan jumbo ludes terjual melalui online, baik Facebook maupun aplikasi jual beli. Bahkan bisa lebih dari itu," ungkap dia bangga.
Bicara pendapatan, jangan ditanya, hasilnya rata-rata tinggal dikalikan Rp 150.000 untuk gitar sayur dan Rp 290.000 untuk gitar jenis jumbo.
Kerja kerasnya pun membuahkan hasil.
Meski pertama kali dikerjakan sendiri serta dibantu sang istri, tetapi akhirnya mempekerjakan sejumlah orang karena banjir orderan.
Bahkan jika ramai, sampai mengambil gitar dari perajin lainnya di kanan dan kiri rumahnya.
"Sering. Bahkan Alhamdulillah pandemi pasar online masih bagus. Beruntung selama ini internetnya selalu lancar untuk urusan jualan," kata dia.
Dari hasil usahanya, tak hanya untuk menjaga dapur agar tetap ngebul, tetapi untuk keperluan sehari-hari istri, anak sekolah hingga membayar gaji pekerja.
"Prinsipnya bisa mandiri, kecil gak apa-apa yang penting bisa menghidupi keluarga. Masih bisa beli beras untuk anak istri, juga keperluan lain," harap dia.
Tak hanya Narto, banyak perajin lainnya kemudian bertranformasi digital dengan memasarkan dagangannya menggunakan ponsel yang dimilikinya. (*)