Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Viral

Penyebab KPK Tempuh Cara Konvensional Lacak Dugaan Korupsi Rafael Alun, Belum Ada Landasan Hukum

KPK harus melakukan penyelidikan guna menemukan bukti kalau Rafael memang menerima suap maupun gratifikasi.

(Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama)
Mantan pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo, usai diklarifikasi KPK terkait harta Rp56 miliar, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (1/3/2023). 

TRIBUNSOLO.COM - Harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo sebesar Rp 56,1 miliar menjadi sorotan setelah anaknya, Mario Dandy Satrio (20) melakukan penganiayaan terhadap D (17), yang merupakan anak pengurus GP Ansor.

Kebiasaan Mario memamerkan gaya hidup mewah melalui media sosial lantas terkuak oleh warganet usai kasus penganiayaan itu. Latar belakang keluarganya, termasuk pekerjaan sang ayah, juga ikut terbongkar.

Baca juga: Rafael Alun Ayah Mario Dandy Ternyata Belum Bisa Ditindak Soal Harta Tak Wajar, Ini Penyebabnya

Alhasil kekayaan keluarga Rafael lantas menimbulkan pertanyaan karena dinilai janggal buat seorang pejabat Dirjen Pajak.

Hingga kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih melakukan pelacakan terkait asal usul kekayaan.

KPK menempuh metode konvensional buat melacak asal-usul di balik kekayaan tak wajar (illicit enrichment atau unexplained wealth) mantan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo.

Dilansir dari Kompas.com, menurut Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, cara itu dilakukan karena sampai saat ini belum terdapat landasan hukum bagi penyidik KPK buat menindak aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara negara yang diduga mempunyai harta tak wajar dan mencurigakan.

Hal ini karena delik illicit enrichment belum dicantumkan dan disahkan dalam UU Pemberantasan Tipikor sebagai tindak pidana, maka KPK harus melakukan langkah-langkah konvensional dalam menangani harta tak wajar Rafael.

KPK harus melakukan penyelidikan guna menemukan bukti kalau Rafael memang menerima suap maupun gratifikasi yang membuat harta kekayaan pejabat pajak itu tidak sesuai profil gaji dan jabatannya.

“Jadi (Direktorat) Penyelidikan akan melakukan gerak-gerak penyelidikan dalam bentuk konvensional,” kata Nawawi dalam keterangannya, Minggu (5/3/2023).

Baca juga: Keluarga AG Mendapatkan Ancaman Imbas Kasus Penganiayaan, Sang Kakak Ungkap Kronologi Versi AG

Delik pidana tentang kekayaan tak wajar atau illicit enrichment, kata Nawawi, nyaris dicantumkan dalam pasal 37 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Dalam pasal itu diatur pejabat harus melaporkan seluruh harta bendanya, istrinya, anaknya, berikut korporasi yang berhubungan.

Jika ia tidak bisa membuktikan asal usul kepemilikan hartanya, maka pejabat terkait bisa diusut.

Kalau delik itu masuk dalam undang-undang dan diberlakukan, maka laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bisa digunakan menjadi alat bukti penyidik buat mengusut dugaan kepemilikan harta tak wajar itu.

“Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan itu, maka LHKPN dijadikan sebagai bukti. Itu kan pentingnya LHKPN,” ujar Nawawi.

(*)

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved