Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Seleksi Masuk PTN 2023

Curhat Mahasiswa PTN Jurusan Kebidanan: Bayar Kuliah Mahal, Fasilitas yang Didapat Minim 

Mahalnya biaya kuliah tidak menjamin untuk mendapatkan fasilitas yang baik. Seperti yang dicurhatkan mahasiswa kebidanan ini.

Tribunsolo.com/Tri Widodo
Ilustrasi kegiatan mahasiswa. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin

TRIBUNSOLO.COM - Mahalnya biaya kuliah di jurusan Kebidanan ternyata tidak serta merta membuat sarana dan prasarananya mumpuni seperti jurusan lain di bidang kesehatan.

Salah seorang mahasiswa Kebidanan di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Jawa Timur, ZR (19) merasakan hal ini.

Ia masuk dengan jalur mandiri.

Dengan begitu ia harus membayar Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Rp 45 juta di awal masuk kuliah.

Lalu ia harus membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) senilai Rp 8 juta tiap semesternya.

Sayangnya, mahalnya biaya ini tak sebanding dengan sarana dan prasarana yang didapatkan.

Ia merasa dianaktirikan jika dibanding bidang kesehatan lain.

"Kita merasa didiskriminasi banget. Di prodi kedokteran semuanya ada yang dibutuhin. Basic life support, NGT (Nasogastric Tube) ada alat peraganya sendiri. Sementara kebidanan enggak ada. Pantum enggak ada yang khusus untuk peraga tertentu," tuturnya saat dihubungi TribunSolo.com, Jumat (19/5/2203).

Baca juga: Pemkot Solo Buka Lowongan 277 PPPK Tenaga Kesehatan, Mulai Bidan hingga Dokter

Alat peraga pantum hanya tersedia tidak lebih dari 10 unit padahal di jurusan tersebut di jenjang sarjana dan profesi ada sekitar 600 lebih mahasiswa menggunakan alat tersebut.

Itu pun tidak sesuai dengan kebutuhan peragaan.

"Misalnya NGT harusnya pantum yang ada jalan kerongkongannya itu enggak ada. Alat juga seadanya," terangnya.

Bahkan untuk melatih kemampuan ia seringkali menggunakan alat ala kadarnya.

"Kita bingung banget. Kita bikin alat peraga pakai guling, pakai bantal," tuturnya.

Saat ini ia sedang melakoni semester 4. Di fase ini ia sudah harus menguasai asuhan kehamilan.

Namun, ia sendiri merasa masih sangat kurang mendapatkan materi mengenai topik ini.

"Harusnya asuhan kehamilan. Kita udah tahu segala hal tentang manajemen yang harus dilakukan buat ibu hamil. Dari kita juga ada suatu kasus masih bingung. Lab skill harus mikir," jelasnya.

Selain alat yang kurang memadai, menurutnya banyak dosen yang mangkir dari kuliah.

"Selain praktiknya yang kurang, dosennya juga enggak memprioriotaskan kita. Ada kuliah yang di-reschedule terus akhirnya enggak diajarin. Akhirnya di UAS keluar, itu sering banget," terangnya.

Meskipun hanya menangani persalinan yang normal, bidan justru penting untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.

Sebab, profesi ini justru berada di posisi kritis yang menentukan bagaimana persalinan bisa dilakukan dengan aman.

Menurutnya, profesi ini masih memiliki banyak peluang.

"Tidak jauh-jauh dari bidan desa, posyandu," jelasnya.

Hanya saja, melihat sarana pendidikan yang jauh dari memadai, ia sendiri tak yakin bisa menjadi bidan yang diandalkan saat lulus nanti. 

"Aku sendiri malah merasa tidak pantas untuk terjun. Enggak yakin kalau kita bisa jadi bidan. 2 tahun ini tidak merasa benar-benar diajari sampai kita yakin sama diri kita sendiri," ungkapnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved