Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Pemilu 2024

Mahasiswa dan Advokat Gugat MK, Minta Sidang Ulang soal Usia Capres-Cawapres

Mahasiswa dan Advokat menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyidangkan ulang perkara mengenai batas minimal usia capres-cawapres.

Penulis: Tribun Network | Editor: Mardon Widiyanto
Tribunnews/JEPRIMA
Ilustrasi: Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) berbincang dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) disela-sela memimpin sidang permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). 

TRIBUNSOLO.COM - Dua orang mahasiswa menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyidangkan ulang perkara mengenai batas minimal usia capres-cawapres.

Dalam permohonan Ilham Maulana dan Asy Syyifa Nuril, turut menggugat bersama-sama yakni advokat Lamria Siagian dan Ridwan Darmawan.

Baca juga: Prabowo Subianto Bakal Hadiri Puncak HUT ke-59 Partai Golkar Hari Ini

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sebagaimanavdimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 sepanjang frasa 'atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum permohonan Para Pemohon, dikutip dari situs resmi MK, Senin (6/11/2023).

Para pemohon mengajukan permohonan provisi yang meminta MK menyidangkan gugatan ini tanpa mengikutsertakan Anwar Usman di jajaran majelis hakim.

Hal ini terkait dugaan konflik kepentingan Ketua MK itu dengan Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Untuk diketahui, Pemohon Putusan 90/PUU-XXI/2024, Almas Tsaqibbirru, merupakan penggemar dari Wali Kota Surakarta Gibran.

Selain itu, mereka juga meminta agar MK menunda pemberlakuan Putusan 90/PUU-XXI/2023 sekaligus meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memberlakukan aturan tersebut.

"Memerintahkan pihak terkait dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum untuk mendiskualifikasi Pasangan Capres dan Cawapres yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum."

Sidang ulang diminta karena menurut mereka suara mayoritas hakim belum tercapai.

Baca juga: Gelar Sidang Etik MK, Gerindra Yakin MKMK Tak Gugurkan Putusan MK soal Usia Capres dan Cawapres

Diantara pertimbangan para hakim yaitu:

- 3 orang hakim mengabulkan sebagian dengan memaknai syarat usia tetap 40 tahun sepanjang dimaknai berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih (elected official);

- 2 orang hakim mengabulkan untuk sebagian dengan alasan yang berbeda terkait pertimbangannya, yakni hanya terbatas berpengalaman sebagai Gubernur yang kriterianya diserahkan kepada pembentuk undang-undang;

- 1 orang hakim memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dengan menyatakan bahwa Pemohon Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing); 

- 2 orang hakim berpendapat bahwa perkara ini bukan merupakan permasalahan inkonstitusionalitas norma, tetapi merupakan opened legal policy;

- 1 orang hakim memiliki pendapat berbeda permohonan pemohon (Dissenting Opinion), yaitu dinyatakan gugur.

Permohonan ini menambah gugatan terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Sebelumnya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana, mengajukan gugatan uji materiil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Brahma selaku Pemohon meminta Mahkamah menguji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Permohonan ini telah teregister di MK dengan Nomor Perkara 141/PUU-XXI/2023.

Ia menunjuk Viktor Santoso Tandiasa, sebagai kuasa hukum.

Dalam permohonannya, Brahma menyoroti adanya persoalan konstitusionalitas pada frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah'.

Menurutnya, ada pemaknaan yang berbeda-beda yang menimbulkan ketidak kepastian hukum, yakni pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Selain itu, ia juga mempersoalkan terkait lima hakim MK yang sepakat mengabulkan permohonan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.

Terkait hal itu, secara rinci, ia menyebut, ada tiga hakim MK yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah'.

Sedangkan, dua hakim lainnya memaknai 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan Gubernur'.

"Hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan karena hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada pilihan pemaknaan tersebut (YM. Prof. Dr. Anwar Usman, YM. Prof. Dr. Guntur Hamzah, dan YM Prof. Manahan MP Sitompul)," tegas Brahma dalam permohonannya, dikutip Tribunnews.com, pada Kamis (2/11/2023).

"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi' (YM. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih) dan syarat 'berpengalaman sebagai gubernur yang pada persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang' (YM. Dr. Daniel Yusmic P Foekh)," sambungnya.

Brahma menilai, frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' inkonstitusional karena hanya berdasarkan tiga suara hakim konstitusi dari lima suara hakim konstitusi yang dibutuhkan.

Tak hanya itu, Braha kemudian mengatakan, Putusan 90/PUU-XXI/2023 telah membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden sepanjang sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.

"Bahwa hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia," ucapnya.

Baca juga: Viral Ucapan Cak Imin Yakin Menang 1 Putaran di Pilpres 2024, Ternyata Ini Alasannya

Dalam petitum, Pemohon meminta Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109, sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa 'Yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai 'Yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'.

Sehingga bunyi selengkapnya 'Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'," demikian bunyi petitum Pemohon 141/PUU-XXI/2023.

Sebagai informasi, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding).

Hal tersebut diatur berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

(*)

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved