Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Pemilu 2024

Pakar Hukum Tanggapi Putusan DKPP, Tegas Sebut Status Pencalonan Prabowo-Gibran Tetap Sah

Sanksi DKPP terhadap KPU yang dinyatakan melanggar etik merupakan keputusan yang salah besar.

Penulis: Advertorial Tribun Solo | Editor: Reza Dwi Wijayanti
Dok Tim Media Prabowo
Status Pencalonan Prabowo-Gibran Tetap Sah. 

TRIBUNSOLO.COM, JAKARTA - Sanksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP) kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari disebut tidak akan berdampak kepada pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Hal tersebut disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid guna merespons DKPP yang menjatuhkan sanksi kepada Ketua KPU dan 6 anggota lainnya.

Sanksi tersebut lantaran dianggap melanggar kode etik terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Menurutnya, pencalonan Gibran tetap sah dan konstitusional.

Baca juga: Prabowo-Gibran Unggul di Survei Laboratorium Psikologi Politik UI, Pilpres Sekali Putaran Kian Nyata

"Tidak mempunyai implikasi konstitusional serta hukum apapun terhadap pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto Gibran dan Rakabuming Raka. Eksistensi sebagai "legal subject" pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional serta 'legitimate'," ujar Fahri dalam keterangannya, Selasa (6/2/2024).

Fahri menerangkan dalam membaca putusan DKPP ini harus dilihat pada dua konteks yang berbeda, yaitu pertama status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang diwajibkan untuk melaksanakan perintah pengadilan yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2024.

Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi "a quo" tindakan KPU dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, sehingga berkonsekuensi terjadi pelanggaran etik.

Fahri mengatakan bahwa dalam pertimbangan yuridis putusan DKPP mengatakan bahwa dalam melaksanakan putusan MK, tindakan KPU selaku teradu tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu.

"Artinya KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tetapi pada hakikatnya itu merupakan ranah etik yang tentunya dapat dinilai secara etik sesuai Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu," jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan (Unpak) Bogor Andi Asrun menilai sanksi DKPP terhadap KPU yang dinyatakan melanggar etik merupakan keputusan yang salah besar.

Sebab menurut Andi KPU hanya melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat self executing atau berlaku segera tanpa memerlukan undang-undang tambahan..

"Putusan DKPP itu salah besar, pertama bahwa KPU itu hanya melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah final bersifat self executing," ungkapnya.

Andi mengatakan bahwa DKPP tidak mengundang pihak yang terkena imbas dari putusan, dalam hal ini pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Dia menyebut DKPP tidak memberikan hak kepada pihak yang terkena imbas untuk didengar.

"Kesalahan besar dari DKPP, dia tidak mengundang, mendengar pendapat dari orang yang akan terkena imbas dari orang yang terkena imbas dalam hal ini, pasangan Prabowo-Gibran, harusnya diundang, sesuai dengan prinsip mendengar kedua belah pihak," jelasnya.

"Kalau menurut saya ini pelanggaran etika, jadi DKPP itu dia melanggar etik, jadi salah besar kalau menurut saya," tambahnya.

Halaman
12
Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved