Berita Boyolali

Ini 3 Fakta Dukuh Slembi Boyolali Jateng, Warga Masih Percaya Pantangan pada Penanggalan Jawa

Warga Dukuh Slembi tidak berani memulai hajatan pada hari pahing. Hari tersebut menjadi pantangan bagi mereka.

Penulis: Tri Widodo | Editor: Ryantono Puji Santoso
TribunSolo.com/Tri Widodo
Gapura Dukuh Slembi, Desa Jurug, Kecamatan Mojosongo, Boyolali. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo 

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Ada bahasan menarik dari Dukuh Slembi, Desa Jurug, Kecamatan Mojosongo

Warga di dukuh ini masih memegang kepercayaan tentang pantangan pada penanggalan jawa. 

Di Dukuh tersebut, warga tidak berani memulai hajatan pada hari pahing. 

Berikut 3 Fakta Soal Dukuh Slembi:

1. Hari Pahing Dianggap Angker

Diantara 5 hari dalam sistem kalender Jawa, Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon, Hari Pahing (hari Jawa) menjadi hari yang "angker".

Masyarakat tak ada yang berani memulai hal besar bagi kehidupannya di hari berneptu (nilai hari ) 9 itu.

Seperti memulai hajatan, khitanan, mendirikan rumah, memasang toping rumah dan sebagainya.

Semua itu tak akan dilakukan pada hari Pahing.

"Sebenarnya itu kolo wuni atau kolo mengo (ucapan yang keluar yang menjadi kenyataan atau ucapan adalah doa)," kata Muhtadin, salah satu tokoh masyarakat setempat.

2. Tradisi Turun Temurun

Karena sudah menjadi tradisi yang berkembang secara turun temurun, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang berani melanggar.

Tak ada masyarakat yang memulai hal besar yang ada pada diri.

Baca juga: Dana Stimulan Desa Pojok di Boyolali Jateng Diprotes Warga, Pemdes Buka Komunikasi BPD Hingga Tokoh

Dia mengaku tak mengetahui secara pasti tradisi larangan memulai pekerjaan pada hari Pahing itu berasal.

Dia menyebut, tradisi itu memang tak tertulis.

Turun temurun melalui lisan.

"Ga tau ya orang dulu itu penyebabnya karena apa. Apa mungkin itu hari raja Salembi atau lain sebagainya. Apalagi orang dulu (sesepuh) itu kalau bilang juga singkat.. misalnya wes ojo (sudah jangan), pasti nurut," terangnya.

3. Masih Ada Sesaji

Misalnya, perintah untuk memberikan sesaji di bawah pohon besar.

Para sesepuh tak pernah menjelaskan maksud dan tujuannya untuk apa.

Namun setelah diteliti maksudnya, pengkeramatan pohon besar itu untuk melindungi sumber daya air dan menjaga keseimbangan alam.

"Masih banyak lagi, sanepo-sanepo (suatu hal yang disampaikan dengan cara samar, tersembunyi) dari para sesepuh terdahulu itu. Yang ternyata punya tujuan mulia," jelasnya.

Baginya larangan itu menjadi sesuatu yang memperkaya tradisi yang berkembang di masyarakat. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved