Resah Gelisah Kuliner Non Halal di Solo
Bantah Solo Intoleran Buntut Penolakan Kuliner Non Halal, Perayaan Imlek Hingga Natal Jadi Bukti
Tokoh Tionghoa, Sumartono menyebut sejak era kepemimpinan Wali Kota Solo Joko Widodo tahun 2005 toleransi di Kota Solo selalu menunjukkan tren positif
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Ia sendiri merasakan sejak kecil bisa berbaur dengan masyarakat lain. Tidak peduli latar belakang suku dan agama, masyarakat Solo bisa menjaga kerukunan.
“Kalau yang saya rasakan saya tinggal di belakang sini kan kampung. Kalau saya sekolah jalan kaki di SD Widya Wacana kami setelah pulang sekolah main layang-layang bareng, nekeran, bak sodor di belakang sini. Kita membaur. Saya melihat mungkin ada kembali ke manusianya bukan suku atau agamanya,” tuturnya.
Tingginya toleransi tak hanya dirasakan di tingkat masyarakat. Di keluarganya sendiri berbagai suku dan agama bisa hidup rukun saling menghargai.
“Secara umum kami komunikasi dengan tetangga baik-baik saja. Kalau saya ronda habis kerusuhan Mei ngobrol semuanya nyaman. Kakak dari istri saya dapat orang Jawa, dapat orang Manado hidup berdampingan tidak masalah,” jelasnya.
Kuliner Non Halal
Festival Kuliner Non-halal
Solo
Tionghoa
TribunBreakingNews
Lipsus
Liputan Khusus
Sumartono
Sempat Diterpa Kasus Penolakan, Kuliner Non Halal di Solo Jateng Tetap Diburu Wisatawan Gegara Ini |
![]() |
---|
Budaya 'Keplek Ilat' Jadi Alasan Kuliner Non-Halal Menjamur di Solo Jateng, Padahal Mayoritas Muslim |
![]() |
---|
Tak Representasikan Penolakan Kuliner Non Halal, Tren Toleransi Kota Solo Meningkat Sejak Era Jokowi |
![]() |
---|
Solo Jateng Diyakini Miliki Toleransi Tinggi, Insiden Penolakan Kuliner Non-Halal Cuma Miskomunikasi |
![]() |
---|
Tokoh Tionghoa Klaim Pengusaha Kuliner Non-Halal Selama Ini Berbisnis dengan Nyaman di Solo Jateng |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.