Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Kasus UD Pramono Boyolali

Penjelasan Lengkap Kanwil DJP Jawa Tengah II soal Tagihan UD Pramono Boyolali : Bukan Tawar-Menawar

Kanwil DJP Jawa Tengah II, meluruskan sejumlah hal terkait apa yang menimpa Pramono, pengepul susu asal Boyolali.

Penulis: Tri Widodo | Editor: Aji Bramastra
Google Street
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II meluruskan sejumlah kekeliruan pemahaman yang dialami Pramono, pengepul susu asal Boyolali yang kisahnya menjadi viral. 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kanwil DJP Jawa Tengah II, meluruskan sejumlah hal terkait apa yang menimpa Pramono, pengepul susu asal Boyolali.

Sebelumnya, kisah Pramono viral setelah pria 67 tahun itu mengaku akan menutup usahanya, karena tak kuat dihantam pajak negara sebesar Rp 670 juta.

Baca juga: Mediasi Masih Deadlock, UD Pramono dan Kantor Pajak Boyolali Tak Ada yang Mau Mengalah 

Selain kaget karena angkanya yang dirasanya cukup besar, yakni sebesar Rp 670 juta, dari yang awalnya Rp 2 miliar, Pramono mengaku kebingungan, karena angka pajak itu bisa 'berubah-ubah'.

Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak Jawa Tengah II, Etty Rachmiyanti, mengatakan, nilai tagihan pajak yang turun, dari yang awalnya Rp 2 miliar menjadi Rp 670 juta, memang bisa saja terjadi.

Etty mengatakan, hal tersebut lumrah, karena dalam prosesnya, angka temuan atau tagihan antara versi pemeriksa dan wajib pajak, bisa saja turun bila si wajib pajak bisa menunjukkan bukti-bukti pendukung.

"Dapat kami jelaskan, dalam proses pemeriksaan terdapat mekanisme pembahasan hasil temuan pemeriksaan antara pemeriksa pajak dengan wajib pajak (WP),"

"Apabila WP dapat memberikan bukti-bukti pendukung atas temuan tersebut, maka dapat mengurangi jumlah pajak yang terutang," kata Etty, lewat keterangan tertulis yang diterima TribunSolo.com, Jumat (15/11/2024).

Etty juga menyanggah ucapan Pramono, yang mengatakan : "Kemudian, setelah nego-nego. Jadi (pajak) Rp 200 juta. Jika Rp 200 juta dibayar masalah pajak 2018 selesai," 

Menurut Etty, pihaknya tidak pernah melakukan negosiasi atau tawar menawar.

"Dalam pelaksanaan tugas, DJP tidak melakukan praktik tawar-menawar dan senantiasa menjunjung tinggi kode etik yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Etty.

Selain dua hal di atas, Etty menjelaskan soal pengakuan Pramono, di mana ia dapat tagihan Rp 110 juta, meski jumlah pajak totalnya sebesar Rp 670 juta.

Menurut Etty, ada kesalahpahaman dari Pramono selaku wajib pajak.

Ia mengatakan, angka Rp 110 juta itu merupakan angsuran dari total pajak sebesar Rp 670 juta.

"Pada proses pembayaran utang pajak, terdapat mekanisme angsuran sampai dengan 1 tahun atau 12 bulan, sehingga wajib pajak dapat melakukan pelunasan secara bertahap. Hal (Rp 110 juta) yang disampaikan oleh wajib pajak (Pramono) adalah angsuran awal dalam hal wajib pajak memanfaatkan angsuran tunggakan pajak," ujar Etty. 

 

 

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved