Imlek 2025
Tradisi Rayahan 'Nian Gao' di Grebeg Sudiro : Hapus Stigma Solo Kota Sumbu Pendek jadi Kota Toleran
Terdengar pekik tawa dan celotehan warga yang rela berdesak-desakan demi menyaksikan salah satu rangkaian Grebeg Sudiro 2025.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Hanang Yuwono
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Cuaca terik menyapa Kota Solo, Jawa Tengah, pada Minggu (26/1/2025) siang kala itu. Meski demikian, ribuan warga tak surut menonton Karnaval Budaya Grebeg Sudiro 2025.
Terdengar pekik tawa dan celotehan warga yang rela berdesak-desakan demi menyaksikan salah satu rangkaian Grebeg Sudiro 2025.
Grebeg Sudiro 2025 seolah menjadi magnet bagi para pelancong, dari kalangan muda, tua, anak-anak, remaja, yang datang sendiri, yang datang bersama keluarga besar, warga Solo asli, hingga warga luar Solo sudah memadati kawasan Pasar Gede Solo sejak pukul 11.00 WIB.
Baca juga: Sampai Kapan Ada Lampion dan Perahu Wisata Imlek Pasar Gede di Solo? Catat Jadwalnya
Beranjak siang tengah hari, matahari kian terik, namun hal itu justru semakin membakar semangat ribuan warga menonton karnaval budaya dari luar barikade.
Setelah 52 kelompok seni selesai unjuk gigi, ribuan orang itu langsung berkumpul, mengelilingi Tugu Jam Pasar Gede.
Dahsyat. Dalam hitungan menit, area depan panggung perayaan Karnaval Budaya Grebeg Sudiro 2025 penuh sesak manusia.
Ada satu tradisi yang ditunggu-tunggu oleh para penonton. Terlihat mata memandang, tangan-tangan sudah siap menodong ke atas untuk menangkap lemparan kue keranjang dari atas panggung.
Baca juga: Libur Imlek 2025 Dongkrak Kunjungan Wisata, Pengunjung Solo Safari Capai 4 Ribu Orang Sehari
Dalam kerumunan itu, nyatanya tidak hanya etnis Tionghoa yang hadir, melainkan juga banyak warga lokal yang antusias berebut kue keranjang.
Kue keranjang alias nian gao adalah makanan khas perayaan Imlek. Dibuat dari ketan dan gula dan memiliki tekstur kenyal dan lengket.

Terlihat sederhana, kue keranjang merupakan simbol toleransi dan akulturasi. Dalam kepercayaan Tionghoa, punya makna kemakmuran, keluarga yang utuh, harapan, dan kemajuan.
Saban tahunnya, kue keranjang jadi rayahan warga yang hadir di Grebeg Sudiro. Momen-momen hangat pun tercipta selama tradisi lemparan kue keranjang berjalan.
Baca juga: Momen Imlek 2025: Presiden Prabowo Lahir 17 Oktober 1951, Memiliki Shio Kelinci
"Entuk aku, entuk aku, (saya dapat, saya dapat)," ucap seorang perempuan berhijab dengan berteriak.
Sesaat kemudian, seorang ibu-ibu yang baru masuk kerumunan langsung memunguti sebuah kue keranjang yang jatuh di bawah telapak kakinya.
"Kalau sudah rezeki tidak akan tertukar," kata ibu-ibu paruh baya itu sambil mengambil kue keranjang. Ekspresinya tampak puas dan semringah.
Sementara itu, pengunjung lainnya, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu berhijab, sampai anak-anak menunggu lemparan keranjang dengan wajah tersenyum antusias.
Baca juga: Momen Imlek 2025: Presiden Prabowo Lahir 17 Oktober 1951, Memiliki Shio Kelinci
Mata mereka tertuju ke arah panggung, dengan tangan siap menangkap kue keranjang. Gagal menangkap berkali-kali, tak menurunkan antusiasme di wajah mereka sedikit pun.
Mereka tak menyerah demi sepotong atau dua potong kue keranjang, bukan kenyang tujuannya, tetapi kepuasan dan keberkahan. Semangat mereka pun berkobar demi sebuah kue keranjang.
Terlihat, ada seorang pria berjaket kulit berwarna hitam berhasil menangkap kue keranjang, namun tangannya tak sengaja mengenai kepala seorang ibu berhijab.
Sambil mempertahankan kue keranjang yang didapatnya itu, bapak-bapak berjaket kulit itu meminta maaf kepada ibu itu berkali-kali.
Pengunjung perempuan itu tak marah, memilih memaafkan dengan wajah tersenyum.

Salah satu warga Solo, Desti senang bukan main, bisa mendapatkan sebuah kue keranjang setelah berebut dengan manusia lainnya.
"Iya dapat, seru, dilempar-lempar, sambil berebut sama orang-orang," katanya kepada TribunSolo.com.
Perempuan berhijab ini menyebut kue keranjang yang didapatkannya itu tidak akan dimakan olehnya. Melainkan, kue keranjang itu akan dikubur.
"Ini dipendem, kalau bahasa Indonesianya dikubur, biar berkah, rezekinya lancar, rela dorong-dorongan demi ini, (semoga) dapat berkahnya," ujar Desti.
Kue keranjang sendiri identik dengan perayaan Imlek, bahkan perayaan Imlek bisa dibilang tidak lengkap tanpa adanya kue keranjang.
Bagi warga Tionghoa, kue keranjang menjadi simbol atas pendapatan dan jabatan yang lebih tinggi, anak-anak berkembang dengan baik, dan secara umum menjanjikan tahun yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Solo dari Stigma Sumbu Pendek Kini Jadi Kota Toleransi Terbaik
Siapa sangka di balik sepotong kue keranjang yang jadi rayahan tiap Grebeg Sudiro, ada proses panjang berbagai pihak untuk mewujudkan event ini bisa diterima semua etnis dan pemeluk agama.
Ya, event multikultural seperti Grebeg Sudiro menjadi salah satu faktor yang mengantar Kota Solo menjadi kota toleransi terbaik di Indonesia.
Gelar Solo sebagai Kota Toleran diberikan oleh lembaga internasional peraih Nominasi Nobel Peace Prize, Visions of Peace Initiative (VOPI) pada medio 2024 lalu.
Penghargaan ini sejalan dengan Setara Institute, organisasi perintis pembela kebebasan beragama di Indonesia, yang sebelumnya sudah menetapkan Solo sebagai salah satu kota toleran di Indonesia.
Survei Kota Solo sebagai kota toleran menyasar responden di sekolah-sekolah dan masyarakat setempat di Solo. Hasil survei pun telah diverifikasi tim dari Amerika Serikat pada tanggal 25 Mei-2 Juni 2024 di Solo.
Fakta ini pun turut mengaburkan Kota Solo yang memiliki catatan kelam konflik di masa lalu sebagai wilayah multietnis. Generasi sebelum 1990-an pernah merasakan bagaimana konflik dengan isu rasialis pernah mendera Kota Solo pada 1998.
Saat itu di Solo, konflik muncul disebut-sebut karena adanya provokator lokal yang menimbulkan bentrokan dan korban fisik.
Tokoh masyarakat, pengusaha dan petinggi di Perkumpulan Masyarakat Surakarta, salah satu organisasi Tionghoa tertua di Kota Surakarta, Sumartono Hadinoto, menceritakan bagaimana Kota Solo berbenah dari stigma kota sumbu pendek jadi kota paling toleran di Indonesia.

"Di usia 70 tahun, saya tidak pernah pindah dari Solo, sudah mengalami tiga kali konflik. Tahun 65 G30SPKI saya masih SD, waktu itu saya merasa mencekam. Yang kedua tahun 80an, tapi (konflik) enggak terlalu lama, cuma dua hari mereda. Dan yang terakhir tahun 1998, yang terakhir ini saya sudah dewasa," kata pria yang karib disapa Martono ini.
Martono menyebut saat itu dirinya mendapat cerita jika Solo tidak pernah ada kasus rasialis. Namun, faktanya seringkali konflik muncul dari Solo.
Di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Wali Kota Solo, dan FX Rudy, perlahan pemerintah kota mulai berupaya menghapus stigma sumbu pendek itu.
"Solo sekarang tidak boleh ada konflik, jika dulu sumbu pendek dan barometer politik, maka sumbunya pun (kini) sudah dihilangkan," kata Martono.
Akhirnya dia memahami jika konflik di Solo adalah konflik yang dikendalikan pihak tertentu dan sarat politis.
Pembenahan mewujudkan Kota Solo yang toleran pun diwujudkan oleh berbagai pihak, antara swasta dengan pemerintah daerah. Mereka memperbanyak event multikultural di Kota Solo, terutama saat perayaan hari besar keagamaan.
Salah satunya adalah event Grebeg Sudiro yang sudah terselenggara selama 17 tahun berturut-turut.
"Sejak reformasi, kami membuat (perayaan) Imlek dan Grebeg Sudiro sudah 17 tahun, ini betul-betul membranding sesuai visi misi kami panitia Imlek. Satu membranding Solo sebagai Kota Bhinneka atau Toleransi, kedua Solo menjadi kota destinasi Imlek. Ketiga selalu berdampak multievent membuat UMKM bertambah rezeki," ungkap Martono.
Ya, menurut Martono, momen Imlek merupakan medium penuh kehangatan untuk menyatukan perbedaan tanpa sekat antarpemeluk agama. Di event ini, semua pemeluk agama dan etnis saling gotong royong menciptakan perayaan yang meriah tanpa membeda-bedakan satu sama lain.
Selain itu event ini turut mendongkrak pendapatan UMKM sekitar. Contoh nyatanya adalah pembuat lampion sebagai ornamen Imlek di Kota Solo mayoritas beragama Muslim. Demikian halnya penampil pertunjukan barongsai.
Ketua Panitia Bersama Imlek 2025 Kota Solo ini menyatakan Grebeg Sudiro menjadi proses terjadinya asimilasi alamiah antara warga Tionghoa dengan Jawa.
"Sehingga sudah tidak ada lagi bedanya, teman-teman Tionghoa dengan teman-teman Jawa, termasuk di Pasar Gede ini pedagangnya sejak awal multikultural," kata Sumartono.
"Jadi, melihat dengan tampilan Grebeg yang semakin baik, semakin dikurasi dengan serius, saya berharap akulturasi budaya ini akan berkembang," sambungnya.
Sementara itu, apresiasi juga disampaikan Asisten Deputi Event Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Reza Pahlevi.
Dia memuji event Grebeg Sudiro yang kembali masuk dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) 2025.
"Kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Wali Kota Solo, Pemerintah Kota Solo, dan panitia atas terselenggaranya even Grebeg Sudiro yang menjadi even pertama dari rangkaian KEN di tahun 2025 ini. Kami harapkan ke depan kegiatan ini akan semakin baik lagi," pungkasnya. (*)
Asal Usul Cap Go Meh : Tahun ini Diperingati pada 12 Februari, Istilah Cap Go Meh Cuma di Indonesia |
![]() |
---|
Lontong Cap Go Meh Ny Liem di Solo yang Hanya Dijual Setahun Sekali, Diyakini Bikin Panjang Umur |
![]() |
---|
Di Perayaan Imlek 2025 di TMII, Wapres Gibran Sebut Miliki Shio yang Sama dengan Presiden Prabowo |
![]() |
---|
Wapres Gibran Bahas Soal Shio di Perayaan Imlek 2025 TMII Jakarta Timur, Singgung 3 Shio Beruntung |
![]() |
---|
Daftar Shio yang Harus Berhati-hati di Tahun Ular Kayu : Shio Babi Waspadai Bulan Februari |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.